Kanal24, Malang – Dalam kesempatan menjadi keynote speaker pada Hari Santri Nasional & Nahdliyyin Initiative Forum 2025 yang digelar di Gedung Widyaloka Universitas Brawijaya (UB), Selasa (21/10/2025), Prof. Drs. Sutiman B. Sumitro, S.U., D.Sc. menyampaikan pandangan mendalam tentang hubungan antara sains, teknologi, dan kesadaran spiritual. Guru besar yang dikenal sebagai ilmuwan sekaligus pemikir lintas bidang tersebut menekankan bahwa setiap bentuk pengetahuan sejatinya bersumber dari Alquran dan hadis, serta harus berorientasi pada ketakwaan dan keseimbangan alam.
Menurut Prof. Sutiman, dasar tertinggi dalam beragama Islam adalah menjadi pribadi yang bertakwa. Ia menjelaskan bahwa ciri orang bertakwa adalah keyakinan terhadap hal yang gaib — bukan semata apa yang terlihat oleh pancaindra. “Kita belajar dari apa yang diadakan oleh Allah, tetapi yang kita percayai adalah yang tidak terlihat,” ujarnya. Pandangan ini menegaskan bahwa pengetahuan sejati tidak hanya bersandar pada bukti empiris, melainkan juga pada kesadaran metafisik tentang hakikat penciptaan alam semesta.
Baca juga:
Bekali Awardee Dana Abadi dengan Public Speaking, UB Gandeng News Anchor TV One

Keseimbangan Alam sebagai Prinsip Ketuhanan
Dalam pandangan Prof. Sutiman, alam semesta diciptakan berdasarkan hukum keseimbangan. Ia menegaskan bahwa konsep Rahman dan Rahim yang melekat pada sifat Allah adalah manifestasi dari keseimbangan tersebut. Ketika keseimbangan terganggu, kata dia, manusia akan menghadapi musibah yang menjadi tanda ketidakharmonisan antara ciptaan dan pencipta.
“Manusia bisa hadir di muka bumi karena alam ini diciptakan dengan dasar hukum keseimbangan. Ketidakseimbangan biasanya akan berujung pada bencana,” terangnya.
Lebih lanjut, Prof. Sutiman menyoroti bahwa dalam konteks ekologi, kerusakan alam adalah bentuk nyata dari pelanggaran terhadap hukum keseimbangan. Ia mengingatkan agar manusia tidak berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan, sebab hal itu berarti mengabaikan tatanan ilahi yang telah ditetapkan dalam penciptaan. Dengan demikian, menjaga kelestarian alam bukan hanya tanggung jawab ekologis, tetapi juga bentuk ibadah dan wujud ketakwaan.
Sains yang Menyelamatkan dan Mencerahkan
Sebagai ilmuwan, Prof. Sutiman mengajak kalangan akademisi untuk mengembangkan sains yang menyelamatkan kehidupan, bukan yang merusak. Menurutnya, pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang mencerahkan kesadaran manusia akan posisi dan tanggung jawabnya di alam semesta.
“Kita harus bisa mengembangkan pengetahuan yang menyelamatkan kehidupan kita di dunia ini dan setelah di dunia ini,” ujarnya. Untuk itu, ilmu pengetahuan perlu diarahkan agar membawa manfaat yang berkelanjutan, bukan sekadar memenuhi keingintahuan atau kepentingan pragmatis manusia.
Ia menekankan pentingnya pendekatan ilmiah yang tetap menghargai dimensi spiritual. Sains, kata Prof. Sutiman, seharusnya tidak lepas dari kesadaran tentang hakikat penciptaan. Dengan memahami bahwa segala yang ada adalah hasil kehendak Allah, maka setiap upaya ilmiah harus diarahkan untuk menjaga, bukan mengeksploitasi, ciptaan-Nya. Pandangan ini mempertemukan antara rasionalitas sains dan keimanan, menjadikan ilmu sebagai sarana untuk memahami kebesaran Tuhan.
Teknologi dan Tantangan Antroposentrisme
Dalam konteks perkembangan teknologi modern, Prof. Sutiman menyampaikan kritik tajam terhadap paradigma antroposentris yang mendominasi. Menurutnya, teknologi saat ini terlalu berorientasi pada kenyamanan dan kecepatan manusia, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap keseimbangan alam. “Teknologi itu dasarnya adalah kepentingan manusia. Namun, ketika hanya berfokus pada kenyamanan, ia seringkali menciptakan masalah baru,” jelasnya.
Oleh karena itu, ia mendorong perlunya membangun teknologi berbasis kearifan dan kesadaran spiritual. Teknologi yang lahir dari pemahaman tentang hukum keseimbangan akan menjadi teknologi yang menyelamatkan, bukan merusak. Dalam hal ini, ia menilai penting bagi bangsa Indonesia — dengan mayoritas penduduk Muslim — untuk mengembangkan paradigma ilmu dan teknologi yang berpijak pada nilai-nilai spiritual Islam.
“Kita bangsa Indonesia harus bisa mengembangkan mazhab sendiri, tidak terlalu berorientasi pada Barat,” tegasnya. Ia berharap, ke depan, ilmuwan dan akademisi tanah air dapat menciptakan konsep sains dan teknologi yang lebih selaras dengan nilai-nilai ketuhanan serta kearifan lokal.
Meneguhkan Mazhab Ilmu ala Indonesia
Menutup pemaparannya, Prof. Sutiman menegaskan bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk melahirkan model ilmu pengetahuan yang khas dan mandiri. Dengan fondasi spiritual yang kuat serta tradisi keilmuan pesantren yang kaya, bangsa ini mampu mengembangkan sains yang tidak hanya rasional, tetapi juga berjiwa etik dan ekologis.
Ia menilai, pertemuan antara dunia akademik dan spiritualitas Islam dapat menjadi jalan tengah bagi pembangunan peradaban yang berkelanjutan. Melalui forum seperti Nahdliyyin Initiative Forum 2025, ia berharap kesadaran ini dapat tumbuh di kalangan santri, mahasiswa, dan ilmuwan muda Indonesia.
“Ilmu bukan sekadar alat untuk menguasai alam, tetapi sarana untuk memahami keseimbangan ciptaan Allah,” tutupnya penuh makna. (nid/dht)










