Oleh : Ilhamuddin*
Tulisan singkat ini menyorot bagaimana Pancasila dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menjadi ruh dan ethos bagi pengembangan keilmuan dan praktek psikologi di Indonesia.
Dalam konteks Indonesia, psikologi tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai Pancasila yang menjadi landasan filosofis bangsa. Pancasila memberikan kerangka etis dan moral yang membimbing bagaimana psikologi sebagai ilmu pengetahuan dan praktik profesional harus diterapkan dengan mempertimbangkan kearifan lokal dan nilai-nilai ketimuran. Hal ini menjadikan psikologi di Indonesia memiliki keunikan tersendiri yang membedakannya dari praktik psikologi di negara-negara lain.
Ada lima hal penting yang harus dihadirkan kembali dalam ruang gerak pengembangan keilmuan dan praktek psikologi di Indonesia.
Pertama, pengembangan keilmuan dan praktek psikologi di Indonesia harus diarahkan pada penguatan dimensi keberagamaan yang menjadi karakteristik fundamental masyarakat Indonesia. Dalam konteks ini, pengembangan psikologi sebagai disiplin ilmu tidak dapat dipisahkan dari kerangka pemikiran teologis dan nilai-nilai spiritualitas yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, psikologi di Indonesia perlu dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek-aspek keagamaan yang menjadi bagian integral dari identitas bangsa, sehingga melahirkan pendekatan psikologi yang secara harmonis terintegrasi dengan ajaran-ajaran agama. Hal ini kemudian membuka ruang bagi berkembangnya berbagai perspektif psikologi yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan, seperti psikologi Islam yang mengintegrasikan prinsip-prinsip Islamic worldview, psikologi Kristiani yang mengadopsi nilai-nilai Kristiani, serta pendekatan-pendekatan psikologi berbasis agama lainnya yang relevan dengan keberagaman spiritual masyarakat Indonesia.
Kedua, pengembangan keilmuan dan praktik psikologi di Indonesia bertujuan untuk mewujudkan manusia Indonesia yang adil dan beradab. Oleh karena itu, kehadiran psikologi harus mampu melahirkan manusia Indonesia yang sadar akan keadilan dan sadar akan kehidupan kebangsaan yang beradab.
Proses pendidikan psikologi harus memanusiakan manusia. Pendekatan intervensi dalam praktek psikologi harus mampu mengembalikan jati diri kemanusiaan, terlebih manusia Indonesia yang berketuhanan, berkeadilan dan beradab, manusia yang menjaga ikatan kemanusiaan dan kebangsaan, manusia yang mengedepankan kesepahaman, musyawarah dan mufakat, dan manusia yang mampu menghadirkan kesejahteraan fisik dan mental bagi masyarakat dan bangsa.
Ketiga, pengembangan keilmuan psikologi dalam konteks ke-Indonesia-an harus mengedepankan semangat untuk bersatu dalam keragaman, dan beragam dalam ikatan persatuan. Sudah menjadi ketetapan Allah Tuhan Yang Mana Esa, manusia dilahirkan dalam ras yang beragam, memiliki keunikan masing-masing, penuh warna dan kearifan lokal yang kaya. Demikian pula bangsa Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai pulau Rote.
Pendidikan dan praktek psikologi, harus memperhatikan kearifan lokal dan kekayaan nilai-nilai budaya di Indonesia. Aktualisasi dan kontekstualisasi teori-teori psikologi menjadi sangat perlu dilakukan, mengingat tidak semua ilmu bebas nilai, terlebih disiplin psikologi. Dalam nuansa kearifan lokal Indonesia, tidak menutup kemungkinan berbagai perspektif psikologi berbasiskan kearifan lokal bertumbuh subur dan melahirkan konsep-konsep baru dalam psikologi, yang bisa jadi bertolak belakang dengan teori-teori yang sudah mapan.
Keempat, pendidikan psikologi harus membangun kesadaran masyarakat Indonesia bahwa kita membutuhkan kepemimpinan yang arif. Dalam tanggung jawab moral keilmuannya, disiplin ilmu psikologi berkewajiban untuk merumuskan, menyiapkan, membangun, dan mengembangkan talenta terbaik di Indonesia untuk menjadi pemimpin-pemimpin masa depan. Pemimpin yang memiliki orientasi keindonesiaan dengan penuh kearifan.
Pemimpin yang arif memiliki keluasan sudut pandang dalam melihat perbedaan. Memandang kekuasaan tertinggi dipegang oleh rakyat. Memberi kesempatan untuk semua golongan terlibat dalam pembangunan Indonesia, baik secara langsung maupun melalui keterwakilan tertentu. Oleh karena itu, prinsip-prinsip seperti egaliter dan toleransi menjadi bagian penting yang perlu dipupuk secara berkelanjutan sehingga semua pihak sadar untuk bermusyawarah. Musyawarah bukan untuk memenangkan ego tertentu, namun bermufakat untuk memilih kemashlahatan yang berdampak besar dan luas.
Kelima, tujuan akhir dari pendidikan dan praktik psikologi adalah membentuk manusia Indonesia yang sejahtera, baik secara fisik, psikis, finansial, maupun sosial. Mendorong keadilan kepada siapapun dan membentuk manusia yang sadar dan berkeadilan. Salah satu bentuk nyata sumbangsih psikologi dalam pembangunan Indonesia adalah memberikan kesempatan yang adil kepada siapapun untuk mendapatkan layanan psikologis yang berkesesuaian dengan keadaan klien.
Ke depan, masih banyak kontribusi psikologi yang perlu ditingkatkan dan diperluas dampaknya. Oleh karena itu, kehadiran pemerintah yang aktif dan komprehensif sangat diperlukan untuk peningkatan kualitas pendidikan psikologi di Indonesia. Kehadiran pemerintah dapat dirasakan ke depan melalui penyediaan anggaran dan regulasi yang dapat memperkuat riset dan pengembangan pendidikan. Dalam tataran prakti psikologi, kehadiran pemerintah didorong untuk mempertegas aturan praktik psikologi di Indonesia, sebab masih banyak praktik-praktik yang mengatasnamakan psikologi namun tidak memiliki landasan keilmuan dan profesional di bidang psikologi.

*)Ilhamuddin, Dosen Departemen Psikologi FISIP Universitas Brawijaya; Ketua Bidang Pengembangan Profesi dan Terapan Psikologi Islam, Pengurus Pusat Asosiasi Psikologi Islam.