Kanal24 – Politisi Partai Gerindra, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, resmi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai anggota DPR RI periode 2024–2029 pada Rabu (10/9/2025). Keputusan itu ia sampaikan lewat video di akun Instagram pribadinya, setelah cuplikan wawancara lamanya kembali viral dan menuai kritik luas. Dalam video tersebut, Saraswati mengaku bertanggung jawab atas kegaduhan yang timbul, meski menegaskan bahwa pernyataannya telah dipotong keluar konteks.
“Tidak ada maksud saya untuk merendahkan masyarakat kecil. Namun jika ada ucapan saya yang melukai hati, saya meminta maaf sebesar-besarnya,” kata Saraswati dalam pernyataan resminya. Ia juga menyebut pengunduran diri ini sebagai langkah pribadi untuk menjaga marwah partai dan presiden terpilih Prabowo Subianto.
Langkah ini menambah daftar politisi muda yang mundur akibat tekanan publik, sebuah fenomena yang semakin sering terjadi di era keterbukaan digital. Kritik deras yang bermula di media sosial berkembang menjadi sorotan publik nasional, hingga menekan partai politik untuk mengambil sikap cepat.
Tekanan Publik Lebih Efektif
Menurut Juwita Hayyuning Prastiwi, S.IP., M.IP., pengamat politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya, kasus Saraswati menunjukkan bahwa desakan publik dapat jauh lebih efektif dibanding mekanisme formal dalam menuntut tanggung jawab politik.
“Tekanan publik ternyata bisa lebih cepat memaksa politisi mengambil keputusan daripada mekanisme etik internal atau jalur hukum. Pertanyaannya sekarang, apakah ini hanya sekadar cara meredam polemik, atau partai Gerindra punya solusi jangka panjang?” ujar Juwita kepada Kanal24 (12/9/2025).
Ia menyoroti bahwa partai seharusnya juga menjelaskan sikapnya terhadap isu yang menjadi sumber kritik, yaitu masalah pengangguran. “Selain itu, kita perlu bertanya apakah dewan etik di internal partai sudah bekerja efektif untuk mencegah kasus serupa. Kalau hanya berhenti di pengunduran, publik bisa melihat ini sekadar langkah simbolik untuk melindungi citra partai,” tambahnya.

Dampak pada Representasi Perempuan
Secara politik, mundurnya Saraswati akan mengurangi jumlah legislator perempuan Gerindra di DPR RI, dari semula 19 orang menjadi 18. Kondisi ini memperlebar jarak pencapaian kuota minimal 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen, target yang hingga kini belum pernah tercapai.
“Secara deskriptif, ini berdampak pada jumlah perempuan di parlemen. Tapi yang lebih penting, kita juga harus melihat secara substantif apakah keberadaan perempuan di DPR sudah benar-benar memperjuangkan kepentingan perempuan, atau hanya menjadi angka kuota,” jelas Juwita.
Saraswati sendiri dikenal sebagai politisi dari keluarga elite, keponakan Menteri Pertahanan sekaligus Presiden terpilih Prabowo Subianto. Mundurnya ia juga memunculkan pertanyaan baru, apakah partai akan menggantinya dengan kader perempuan melalui mekanisme pergantian antar waktu (PAW), atau justru mengisi kursi itu dengan politisi laki-laki.
Tantangan Bagi Partai Politik
Kasus ini menjadi cermin tantangan besar partai politik dalam menjaga akuntabilitas kader di era media sosial. Polarisasi opini publik bisa dengan cepat bereskalasi, dan partai tidak bisa lagi hanya mengandalkan mekanisme tertutup untuk mengendalikan isu.
“Kalau kanal aspirasi publik tidak dibuka, akhirnya semua berujung pada tekanan besar yang bisa menjatuhkan citra partai. Jadi, penting bagi partai untuk membangun mekanisme etik internal yang jelas dan transparan,” tegas Juwita.
Ia menambahkan, jika Gerindra ingin menjaga komitmen terhadap demokrasi dan inklusivitas, maka penggantian Saraswati seharusnya tetap memperhatikan representasi gender.
“Masyarakat menunggu apakah Gerindra akan tetap memberi ruang pada perempuan, atau justru kembali ke pola lama yang maskulin,” pungkasnya.(Din)