Faktor produksi menjadi bahasan inti teori ekonomi (mikro). Setidaknya disebut tiga faktor produksi dalam ekonomi: tanah (land), tenaga kerja (labor), dan modal (capital). Asumsinya, organisasi ekonomi (sebut saja perusahaan) memiliki faktor produksi yang terbatas, namun dituntut menghasilkan output maksimal. Pekerjaan utama pemilik korporasi adalah mendesain alokasi faktor produksi yang paling efisien (murah) untuk menghasilkan output paling besar (laba). Jika tenaga kerja mahal, maka diupayakan modal dan tanah diperbanyak. Bila harga tanah tinggi, maka modal dan tenaga kerja yang dimanfaatkan. Demikian seterusnya.
Tak ada yang membingungkan dari rumus itu. Pemilik tanah memperoleh sewa, tenaga kerja mendapatkan upah, dan pemegang modal meraih bunga. Segalanya tampak adil. Namun, apabila didalami akan muncul perkara filosofis yang pelik: mengapa manusia (tenaga kerja) diperlakukan sama dengan faktor produksi yang lain? Jika mesin ditemukan dan bisa menggantikan ratusan pekerja, apakah otomatis karyawan bisa dikeluarkan dari arena ekonomi? Lebih menukik lagi, di dalam diri seseorang bukan hanya melekat keterampilan, tetapi juga pikiran dan martabat. Di manakah hal tersebut mesti diletakkan dalam konfigurasi faktor produksi?
Narasi itulah yang membuat para pendiri bangsa memformulasikan sila kedua Pancasila dengan kalimat penuh getar: “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Manusia derajatnya bukan hanya diukur dari segi keterampilan sehingga bisa dihisap selayaknya faktor produksi yang lain, yaitu modal dan tanah. Adil dimaksudkan sebagai nisbah ekonomi yang setara dengan nilai kemanusiaannya. Surplus nilai (istilahnya Karl Marx) itu jamaknya direbut oleh pemodal. Perlakuan beradab tak lain menghindari proses eksploitasi yang melampaui kewajaran, di samping menghormati pikiran dan jiwa yang hidup dalam diri manusia.
Pasal 33 UUD 1945, yang pemegang saham terbesar rumusannya disumbangkan oleh Mohammad Hatta, sebetulnya ingin mengejawantahkan sila kemanusiaan tersebut, termasuk sila yang lain. Ayat satu (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) merupakan “rumah koperasi” yang tidak meletakkan manusia sebagai faktor produksi yang setara dengan modal dan tanah. Tiap anggota koperasi mempunyai tiga nyawa yang melekat: ikut memiliki, ikut menentukan, dan ikut bertanggung jawab. Nilai-nilai koperasi ini menjunjung kejujuran, keadaban, kekeluargaan, kerakyatan, dan keadilan yang berkerabat dengan Islam. Harkat kemanusiaan ditinggikan hingga menyundul langit.
Penulis : Ahmad Erani Yustika, Guru Besar FEB UB dan Ketum IKA UB