Bagi penggemar acara “talk show” (unjuk wicara), sebelum acara itu populer di Indonesia pada dekade 2000-an, pasti pernah menyaksikan (sekurangnya mendengar nama) Larry King. Nama aslinya: Lawrence Harvey Zeiger. “The Larry King Show” adalah acara ajaib di stasiun TV CNN, yang bertahan 25 tahun (1995 – 2010). Seluruh orang penting dunia pernah diwawancarainya: presiden, artis, olahragawan, agamawan, pemenang nobel, dan seterusnya. Tapi, tak banyak yang mengerti, ketika Larry mengudara pertama kali di radio pada 1957, ia selama sepekan berlatih bicara agar sukses. Hasilnya? Gagal total pada kesempatan pertama. Tapi, Larry tak patah. Ia berlatih terus sampai menjulang.
Novel dan film Harry Potter (HP) juga menjadi legenda lain, tentu tanpa mungkin meninggalkan nama pengarangnya: Joanne Kathleen Rowling. Saya mesti jujur tak membaca selembar pun novel itu, pun melihat filmnya. Saya hanya sempat berkeliling di Museum HP di pinggiran London (Wardford, Hertfordshire) dengan pengunjung lain yang berjubel. Di samping kisah masa kecilnya yang kelabu, tak banyak yang tahu juga bahwa naskah HP itu ditolak penerbit sampai Rowling nyaris frustrasi. Adiknya, Dianne Rowling, yang terus menyemangati dan membantu mencarikan penerbit hingga akhirnya Bloomsbury mau mencetak novelnya. Setelah itu cuma cerita rekor: 450 juta buku terjual (terlaris sepanjang sejarah).
Satu lagi kisah dramatis dari pendiri “Whatsapp”: Jan Koum. Ia lahir dan mengalami masa kecil yang pedih di Ukraina karena gerakan anti-Yahudi yang ganas. Pada 1990 Jan dan ibunya pindah ke AS untuk mencari masa depan yang lebih baik. Ayahnya masih tinggal di Ukraina dan wafat pada 1997 ketika hendak menyusul ke AS. Jan kerja apa saja di AS, juga ibunya, termasuk sebagai pembersih toilet. Mereka kerap harus antre kupon makanan subsidi pemerintah. Jan terus berjuang sampai bisa kuliah. Ia melamar ke Facebook, tapi ditampik. Dia tak ambruk, justru berkutat membikin aplikasi Whatsapp/WA. Ujungnya? WA dibeli FB seharga US$ 19 miliar (2014). Kesepakatan itu ditandangani di kantor dinas sosial yang dulu Jan antre kupon makan.
Jadi, siapa saja yang bisa menahan dahaga, menunda kesenangan, dan berpeluh melalui aneka kesulitan; maka pada akhirnya akan merasakan kenikmatan. Mereka hakikatnya adalah orang yang mengamalkan puasa: melalui dan menaklukkan segala kesusahan. “Leiden is lijden (memimpin itu menderita),” seru Agus Salim. Hanya orang berpuasa yang ujungnya akan berbuka. Janji Allah jelas soal ini: “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (QS. Al-Insyirah: 6). Namun, setelah masa berbuka tiba tidak lantas nafsu yang berkuasa. Seluruhnya tetap berada dalam pengendalian: jujur, kerja keras, amanah, sabar, terus belajar, dan rendah hati. Hanya dengan jalan itu keberhasilan punya makna kepada kehidupan.
Penulis : Ahmad Erani Yustika, Guru Besar FEB UB dan Ketum IKA UB