“Great minds talk about ideas, average minds talk about events, and small minds talk about people”, tutur Eleanor Roosevelt. Ide yang kuat menjadi dasar sebuah perubahan. Dalam khasanah ekonomi, terdapat banyak gagasan penting sebagai pilar kebijakan. Merkantilisme adalah salah satunya. Mazhab ini yakin kemakmuran diraih dengan jalan sebanyak mungkin negara mendorong ekspor, sementara di sisi lain pintu domestik ditutup dari masuknya barang impor. “We must have money, and if have none from our own productions, then we must have some from foreigners”, ucap ekonom Perancis, Montchretien. Dogma yang mereka pegang: “god, gold, glory.” Itu yang dipraktikkan pada masa abad 16 dan menjadi sumber penting munculnya kolonialisme dan imperialisme.
Setelah itu lahir gagasan kapitalisme, terutama setelah buku “The Wealth of Nations” dari Adam Smith diluncurkan (1776). Idenya sederhana: manusia memiliki hasrat mengakumulasi keuntungan/kekayaan. Tugas sistem ekonomi adalah memfasilitasi agar tiap orang bisa menyalurkan hasratnya tersebut. Caranya? Bebaskan orang untuk masuk dan keluar pasar, hak milik pribadi dijamin (private property rights), informasi mesti sempurna, dan mekanisme pasar bekerja untuk mengkoordinasikan transaksi. Pikiran ini sekaligus revisi dari merkantilisme yang dianggap menutup diri sehingga kemakmuran bersama sulit dicapai.
Marxisme juga tak mau ketinggalan. Kaum ini melihat kelemahan mendasar dari kapitalisme adalah ketimpangan dan eksploitasi. Sistem pasar yang digunakan hanya akan membelah masyarakat menjadi dua kasta: pemilik modal dan buruh. Pemilik modal mengambil nyaris habis surplus ekonomi (nilai lebih) dan meninggalkan buruh dalam kemelaratan. Karl Marx mengulas ini dalam kitab 4 jilid: “Das Kapital.” Volume keempat disunting oleh Karl Kautsky, yang berjudul: “Theories of Surplus-Value”. Solusi masyarakat tanpa kelas adalah opsi yang ditawarkan. Mekanismenya? Pertama, revolusi. Ambil alih kekuasaan dan alat produksi, lalu berikan ke rakyat. Kedua, reformasi. Bikin partai, ikut pemilu, berkuasa, dan ubah sistem (ekonomi).
Nabi juga seorang pedagang, bahkan istri beliau adalah usahawan besar (Siti Khadijah). Dalam menjalankan bisnisnya, Nabi berpedoman kepada lima rukun, yang kemudian menjadi doktrin pengembangan ekonomi syariah, yakni: (i) menyeimbangkan motif material dan spiritual; (ii) mengutamakan prinsip keadilan dan melarang riba; (iii) menghadirkan kebebasan ekonomi sesuai akidah; (iv) memastikan kemaslahatan bersama; dan (v) mengakui kepemilikan multi-jenis. Praktik ini telah dijalankan meski belum menjadi arus utama pembangunan. Seluruh ikhtiar tadi berangkat dari ide dan keyakinan. Intinya: perubahan dikobarkan dari gagasan, bukan hasutan.
Penulis : Ahmad Erani Yustika, Guru Besar FEB UB dan Ketum IKA UB