Kanal24, Malang – Pelaku usaha beromzet di atas Rp15 juta per bulan di Kota Malang akan dikenakan pajak 10% setelah Raperda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah resmi disahkan oleh DPRD Kota Malang pada Kamis (12/6/2025) lalu. Kebijakan ini memicu keresahan di kalangan pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) karena beranggapan bahwa semua pelaku UMKM akan dikenakan pajak tambahan tersebut.
Menurut Bahrul Ulum Annafi, S.H., M.H., dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dan ahli hukum pajak, isu tersebut muncul diduga akibat kesalahpahaman masyarakat terhadap pajak yang dimaksud. Ia menjelaskan bahwa pajak yang ramai diperbincangkan adalah PBJT (Pajak Barang dan Jasa Tertentu) atas jasa makanan dan minuman, yang sebelumnya dikenal sebagai pajak restoran.
Baca juga:
Doktor FH UB Dalam Disertasinya Soroti Celah Hukum Grup Perusahaan

“Pajak ini bukan dikenakan kepada semua UMKM, melainkan hanya pada usaha makanan dan minuman seperti restoran atau rumah makan, dengan omzet bulanan di atas Rp15 juta. Dan yang membayar pajak bukan pelaku usahanya, tetapi konsumennya,” jelas Bahrul kepada Kanal24 pada Kamis (19/06/2025),
PBJT atas jasa makanan dan minuman telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Peraturan ini memberi wewenang kepada daerah untuk memungut pajak atas jenis jasa tertentu, termasuk makanan dan minuman.
“Bahkan, batas omzet Rp15 juta ini adalah bentuk kenaikan dari batas sebelumnya yang hanya Rp5 juta. Jadi, ini sebetulnya memperlonggar, bukan memperberat,” tambahnya.
Baca juga:
Doktor FH UB Tawarkan Reformulasi Kewenangan Jaksa dalam Mediasi Penal
Bahrul juga menyayangkan adanya informasi yang menyamaratakan bahwa semua UMKM terkena pajak, termasuk warung kelontong atau toko kecil seperti Warung Madura. “Kalau warung menjual sembako dan minuman kemasan, itu tidak termasuk objek PBJT. Hanya jasa makanan-minuman yang dikonsumsi di tempat, seperti restoran atau kafe,” tegasnya.
Oleh karena itu, ia menilai pentingnya peningkatan sosialisasi oleh pemerintah daerah agar masyarakat memahami jenis dan subjek pajak dengan benar. Menurutnya, pemahaman yang salah dapat menimbulkan kepanikan dan kesalahpahaman yang luas.
“Yang perlu digarisbawahi adalah pelaku usaha tidak menanggung pajak ini secara langsung, pajak ini ditanggung konsumen. Mereka hanya sebagai pemungut yang menyetorkan pajak dari konsumen ke kas daerah,” tutupnya. (nid)