KANAL24, Malang – Direktur utama Lembaga Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (LPDPP) Kementerian PUPR, Prof. Dr. Ir. Arief Sabaruddin, CES memberikan kuliah umum tentang penerapan teknologi rumah tahan gempa dalam penanganan kebencanaan. Kuliah umum ini merupakan kerja sama antara pascasarjana UB dengan Kementerian PUPR yang dilaksanakan jumat (8/11/2019) di Hotel Savana Malang.
Arief mengungkapkan, kebanyakan masyarakat dalam membangun rumah ada 2 hal yang keliru dilakukan. Pertama, terkait dengan kualitas material dan kedua, terkait dengan detailing atau sambungan-sambungan di rumahnya. Sehingga, ketika terjadi gempa yang paling banyak rusak adalah rumah-rumah masyarakat. Untuk itu, bagaimana caranya mengurangi resiko kesalahan-kesalahan yang selalu muncul tersebut.
“Kami mencari solusi, bagaimana membangun rumah yang sederhana tetapi tetap dengan kaidah-kaidah yang harus dipenuhi. Sehingga, resiko yang terjadi di lapangan ini kita pindahkan ke workshop dan muncullah sistem pabrikasi. Dengan sistem ini dapat mengurangi resiko masyarakat membangun keliru dalam konstruksi maupun material. Karena kalau di pabrikan sudah ada kontrolnya, sehingga di lapangan tinggal sistem sambung saja,” paparnya.
Prinsip rumah tahan gempa ini, masyarakat juga tidak boleh keliru bahwa rumah tahan gempa ketika terjadi gempa bukan berarti tidak boleh rusak. Boleh rusak tetapi tidak boleh roboh, rusak itu sifatnya macam-macam ada rusak non struktural dan rusak struktural. Kalau rusak non struktural bisa diperbaiki karena rusak ringan. Sedangkan rusak struktural sejauh bangunan belum roboh, bisa dikaji apakah sudah gagal atau belum. Namanya bangunan sudah roboh itu pasti gagal, tapi kalau yang namanya bangunan tidak roboh tapi dia sudah mengalami kegagalan itu harus dirobohkan.
Rumah tahan gempa atau RISHA (Rumah Instan Sederhana Sehat) telah dilaunching sejak 15 tahun yang lalu, tepatnya di tahun 2004. Pertama kali dipakai pada saat tsunami aceh, dan sekarang dipakai di Palu. Sistem percetak yang kecil karena komponen-komponennya ringan menjadikan masyarakat korban bencana bisa merakit sendiri.
Pondasi dasar RISHA sama dengan bangunan konvensional, yang berbeda adalah strukturnya. Kenapa fokus akan struktur, karena ketika terjadi bencana komponen struktur itulah yang paling utama untuk menahan beban gempa. Tapi, bukan berarti boleh dibangun secara sembarangan, karena prinsip rumah tahan gempa itu harus saling terikat antar komponen baik yang struktural maupun yang non struktural.
RISHA bukan hanya diperuntukkan bagi masyarakat korban bencana saja, ada juga masyarakat yang saat ini membangun villa dengan menggunakan RISHA. Dengan inovasi yang terus di update, penggunaan waktu pembangunan yang lebih efisien dan harga yang murah jika dibandingkan dengan struktur bangunan konvensional yang standard. Arief berharap, RISHA dapay merubah mindset masyarakat bahwa masyarakat hidup di daerha rawan bencana dan produk ini merupakan 100 persen buatan Indonesia ini. (meg)