KANAL24, Malang – Konflik dan ketegangan antara Israel dan Palestina tak kunjung reda. Aksi saling serang terus dilancarkan kedua belah pihak. Kota dan bangunan hancur serta ratusan jiwa meninggal dunia. Pakar komunikasi UB, Rachmat Kriyantono, Ph.D memberikan tanggapannya terhadap peristiwa ini. Menurutnya, konflik Israel Palestina ini sangat kompleks. Bukan hanya isu agama, tapi juga politik, ekonomi dan bisnis serta melibatkan banyak pihak. Akibatnya, aspek kemanusiaan yang tergadaikan.
“Hal ini sudah dimulai sejak 1948 ketika gerakan Zionisme dikumandangkan kelompok Yahudi garis keras. Dibantu Inggris-AS, Israel kembali ke wilayah Yerusalem dan sekitarnya. Lambat laun mereka merebut sebagian wilayah Palestina,” terangnya, Rabu (19/5/2021)
Amerika sebagai sekutu terkuat Israel dinilai tampak memainkan komunikasi internasional dua kaki. Yakni, mengomunikasikan bahwa mereka peduli perdamaian dengan meminta gencatan senjata dan menawarkan sebagai mediator. Namun, di sisi lain, media memberitakan juga bahwa AS menjual senjata ke Israel dengan nilai hingga Rp 11 T.
Tentunya hal ini bsisa menyimbolkan ambiguitas AS dalam politik internasional, sekaligus mengomunikasikan simbol dua wajah Paman Sam masih terjadi seperti dahulu. Contoh saat Trump mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel, padahal Palestina punya hak atas kota suci tersebut.
“Komunikasi internasional AS ini bagaimanapun tidak bisa lepas dari kepentingan Nasional AS. Israel adalah mitra utama AS, termasuk intelijen dan pasokan data yang sangat berguna bagi AS untuk menjaga kepentingannya di Timur Tengah, termasuk kepentingan ekonomi dan untuk menghadapi ancaman Iran,” jelasnya.
Rachmat melanjutkan, Israel juga memiliki pengaruh kuat pada lobi-lobi politik dan menguasai ekonomi di AS. Tidak sedikit orang-orang Yahudi yang menguasai bisnis di bidang film dan teknologi komunikasi.
AS akan terus melakukan komunikasi internasional dua kaki ini selama kepentingan nasionalnya tetap terjaga. Hubungan baik dengan Israel pun juga bisa terjaga, namun hal ini bisa memunculkan perlawanan dari kelompok Islam, terutama yang kepentingan politik dan ekonominya tidak terakomodasi. Kelompok ini kemudian mengampanyekan isu atau memframe konflik sebagai perlawanan agama karena agama bersifat dogma maka bisa menstimuli gerakan membela agama. (Meg)