Indonesia merupakan negara kepulauan yang diapit oleh benua Australia di Selatan dan Asia di Utara. Terletak juga diantara lempeng Eurasia- Indo-Australia dan Pasifik sehingga rawan terjadinya bencana alam. Berdasarkan pemaparan ketua BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) Republik Indonesia Letjen TNI Doni Monardo dalam seminar online yang diadakan oleh aplikasi Doctor to Doctor dengan Perhimpunan Dokter Emergensi Indonesia dan Perhimpunan Dokter Ahli Emergensi Indonesia, Sabtu 13 Maret 2021, menyatakan bahwa Indonesia adalah salah satu dari 35 negara yang memiliki risiko bencana alam tertinggi di dunia.
Bencana yang sudah dialami oleh Indonesia selama tahun 2021 ini diantaranya adalah gempa bumi termasuk Gempa bumi di Kabupaten Majene Sulawesi Barat, karhutla (kebakaran hutan dan lahan), banjir, banjir bandang serta tanah longsor. Kondisi tersebut diperberat oleh adanya pandemi COVID-19 (Corona virus disease 2019) yang terjadi sejak tahun 2020.
Penanganan korban bencana alam masa pandemi COVID-19
Tempat pengungsian merupakan tantangan utama saat terjadi bencana alam di masa pandemi COVID-19. BNPB selalu menyampaikan agar dilakukan pemisahan ruang pengungsian antara kelompok rentan misalnya usia > 60 tahun, memiliki faktor komorbid/pemberat seperti penyakit ginjal, penyakit jantung, diabetes melitus, hipertensi dan penyakit autoimun dengan kelompok usia produktif tanpa komorbid.
BNPB mengoptimalkan dukungan sarana dan prasaran yg medukung penerapan protokol kesehatan seperti pemberian masker maupun fasilitas untuk cuci tangan di tempat pengungsian. Perlu diperhatikan pula untuk mengurangi jumlah pengungsi yang bergerombol sehingga dapat mengurangi terjadinya penularan virus Sars-CoV-2 di tempat pengungsian. Selain itu, BNPB juga mengutamakan kesediaan logistik yg dapat membantu meningkatkan imunitas/daya tahan tubuh para pengungsi.
Konsep penanggulangan bencana saat pandemi
“Indonesia merupakan negara dengan peringkat kematian akibat COVID-19 tertinggi di ASEAN. Oleh karena itu konsep penanggulangan gawat darurat sehari-hari dan bencana saat pandemi ini adalah jangan menularkan dan jangan sampai tertular”, ujar Prof.dr.Aryono D Pusponegoro, Sp.B, KBD
Untuk menanggulangi bencana secara komprehensif dibutuhkan rencana penanganan bencana alam bersama (disaster plan). Selain itu dibutuhkan sistem rujukan yang baik dan terorganisir. Saat terjadi bencana alam, maka penting memperhatikan tiga hal ini yaitu aman untuk penolong, aman lingkungan dan aman untuk korban/pasien.
Sumber daya manusia kesehatan merupakan aspek yang juga tidak kalah penting dalam menangani kegawatdaruratan sehari-hari maupun saat terjadi bencana alam. Oleh karena itu diperlukan tim tanggap bencana yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu serta melakukan pelatihan bersama secara periodik untuk meningkatkan kompetensi para anggota tim tersebut.
SPGDT (Sistem penanganan gawat darurat terpadu) adalah suatu sistem berupa koordinasi dari sektor kesehatan yang didukung oleh sektor lain dan kegiatan kelompok profesional pada keadaan kedaruratan medis sehari-hari (SPGDT-S) dan pelayanan kedaruratan medis pada saat kejadian bencana (SPGDT-B)
Skematik tanggap darurat dalam SGPDT diantaranya yaitu SAR medis – pre-hospital care – hospital care. Pelayanan gawat darurat sebelum ke RS merupakan hal yang harus diperhatikan. Pelayanan tersebut berfokus untuk mencegah kematian dan kecacatan korban, melakukan penganggulangan korban musibah massal dan bencana yang terjadi di dalam maupun di luar RS, mengembangkan dan menyebarluaskan pengetahuan penanggulangan penderita gawat darurat melalui pendidikan dan menyelenggarakan berbagai kursus yang berhubungan dengan pengetahuan dan keterampilan penanganan gawat darurat.
“Saat terjadi bencana dalam kondisi pandemi, maka aspek keamanan dan keselamatan harus lebih diperhatikan baik untuk para petugas maupun korban. Perlengkapan APD (alat pelindung diri) dan alat transportasi harus disesuaikan dengan standard. Alat transportasi sebaiknya memiliki HEPA filter untuk mengurangi risiko terjadinya penularan COVID-19 saat melakukan transportasi korban. Selain itu, masalah obat juga harus diperhatikan, jangan sampai obat yang ada di lokasi bencana alam sudah kadaluarsa atau mendekati masa kadaluarsa sehingga harus dibuang”, ujar Dr Corona Rintawan, Sp.EM.
Penulis: dr.Yelvi Levani, M.Sc (Relawan Mer-C Jatim)