KANAL24, Malang – Psikolog Universitas Brawijaya, Ari Pratiwi, S.Psi., mengatakan secara umum toxic adalah sesuatu yang merusak atau menimbulkan reaksi tertentu. Toxic relationship adalah relasi atau hubungan yang pada level tertentu dapat merusak hubungan itu sendiri. Pernyataan ini Ia sampaikan saat menjadi narasumber pada Webinar Series #2 yang diselenggarakan oleh Tim Layanan Konseling Mahasiswa Universitas Brawijaya (LKM UB) bertema “Toxic Relationship: Antara Aku, Kamu, Teman, dan Keluarga”, sabtu (10/7/2021).
Konselor LKM UB itu menjelaskan toxic relationship dipengaruhi oleh frekuensi dan intensitas seberapa sering dan berat toxic itu dilakukan kepada orang lain atau sebuah relasi. Sedangkan, toxic person adalah seseorang yang mungkin meracuni orang lain sehingga tidak bisa mencapai kebahagiaan dan hidup produktif. Ada beberapa kelompok yang dapat berperilaku toxic dalam sebuah hubungan diantaranya toxic parent/family (keluarga), toxic lover (pacar), toxic friend/frenemies (teman), dan toxic people (orang itu sendiri).
Menurutnya, seseorang dapat dikategorikan sebagai toxic people apabila semua orang memberikan validasi bahwasanya orang tersebut memang toxic. Kemudian, toxic people apabila orang tersebut toxic secara personal atau hanya kepada diri kita. Atau toxic people sebagai respon, artinya apabila kita merasa semua orang toxic, kitalah toxic people yang sesungguhnya.
“Oleh karena itu, kita perlu crosscheck. Kalau kita merasa semua orang toxic, bisa jadi kitalah toxic people yang sesungguhnya. Toxic people mungkin sebenarnya respon dari apa yang kita lakukan,” jelasnya.
Ari juga memberikan tips dalam menghadapi situasi toxic. Pertama, take it, menerima apa adanya dan dihadapi. Kedua, leave it atau pergi/meninggalkan orang tersebut. Leave it merupakan keputusan tersulit karena harus keluar dari zona nyaman. Dan yang terakhir adalah change it artinya mengubah perspektif, pendapat dan perilaku kita.
“Perlu diingat, tidak ada cara yang mudah. Baik take it, leave it, maupun change it, selalu ada resiko yang harus diambil. Namun harus terus dicoba. Kalau tidak dicoba kita akan terus menerus berada dalam situsi toxic,” imbuhnya.
Dosen Psikologi UB itu mengatakan bahwa orang-orang terlalu mudah melabelling orang lain toxic tanpa aware dengan dirinya sendiri. Sehingga, membuat dirinya selalu terjebak dalam toxic relationship.
“Gunakan istilah toxic dengan bijak. Hati-hati ketika melabel, lihat dulu kasusnya. Apakah benar ia toxic atau tidak. Labelling yang berlebihan akan membuat kita membatasi banyak hal dan membatasi gerak kita. Tapi awereness yang tidak dilakukan, akan membuat kita terjebak di situasi toxic tanpa kita sadari. Keduanya sama-sama berbahaya tetapi gunakanlah dengan bijak,” tandas Ari. (Meg)