Oleh: dr. Ayunda Dewi Jayanti JP Dosen FK UB
Berjumpa kembali di minggu kedua ramadhan, tanpa terasa kita sudah bisa beradaptasi dengan ritme mengatur makan dan minum serta beraktivitas selama ramadhan. Kali ini kita akan berbincang tentang sisi menyehatkan puasa dari sudut pandang kesehatan mental.
Riset baru-baru ini banyak yang menyebutkan efek jangka pendek dan panjang dari pandemi COVID-19 berkaitan dengan perubahan pola interaksi sosialisasi manusia berdampak pada kesehatan mental. Riset lain meyebutkan bahwa puasa ramadhan memiliki dampak baik untuk kesehatan mental. Benarkah?
Salah satu review dilakukan pada mahasiswa universitas di Iran menyebutkan bahwa puasa ramadhan memperbaiki kondisi kejiwaan. Puasa mampu meredakan stress, kecemasan, dan depresi. Keyakinan terhadap aspek relijius yang kuat mampu mengurangi paparan stres psikologis dan membantu menghadapi masalah hingga krisis psikologis. Studi lain meliatkan populasi perawat yang kita ketahui memiliki beban kerja yang penuh tekanan ternyata level stresnya menurun dibandingkan dengan bulan sebelum ramadhan.
Perasaan nyaman, percaya diri mampu menghindarkan dari depresi dan kecemasan. Hal ini menjadi kebutuhan dasar manusia yang dapat dipenuhi ketika melakukan ritual agama berpuasa di bulan ramadhan.
Baca juga:
Meski demikian hal yang wajib dipahami adalah untuk mengenali diri sendiri. Apakah kondisi diri sendiri secara medis fit. Sebuah studi kasus di New York mendapati seorang pasien dengan penanganan obat-obatan antidepresi dan dalam pengawasan ketat seorang psikiater melakukan penyesuaian ritme makan, tidur, dan minum obat selama bulan ramadhan.
Dalam beberapa indikator kondisi vital dan kesehatan lainnya ditemukan bahwa terjadi peningkatan efek samping dari pengobatannya.
Maka, jika dalam kondisi pengobatan, perubahan dosis dan waktu pengobatan harus melalui konsultasi terlebih dahulu dengan dokter yang menangani untuk menentukan apakah puasa dapat berjalan dengan baik. (*)