oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Kajian biologi komunikasi memahami bahwa komunikasi manusia berpusat pada kerja otak yaitu yang berfokus pada kedua belah sisi otaknya (kanan dan kiri) khususnya pada fungsi otak besar bagian luar (Cortex), secara rinci dibagi menjadi empat bagian, yaitu occipital lobe (penglihatan), pariental lobe (cita rasa),temporal lobe (pendengaran, memori dan emosi), dan frontal lobe (pergerakan otot, moral, emosi dan ekspresi). Pesan yang diterima, diproses, dan ditransformasikan oleh bagian spesifik otak lainnya seperti frontal, temporal, parietal, dan occipital harus lebih dulu melalui bagian parasagital. Intinya bahwa otak manusia adalah pusat atau sentral dalam mengolah sebuah pesan disaat manusia sedang berkomunikasi dalam sudut pandang kajian biologi komunikasi.
Namun kajian biologi komunikasi yang menekankan pada fungsi fisiologi otak ini masih menyisakan sebuah pertanyaan mendasar, yaitu dari mana kesadaran dan kualitas komunikasi manusia itu dibentuk dan kemudian memberikan “rasa” atau nilai (termasuk nilai spiritualitas) atas suatu pesan komunikasi yang disampaikan dan dilakukan oleh seseorang sehingga bisa membedakan pesan kebaikan dan keburukan serta mana pesan kebenaran dan kemungkaran.
Pendekatan komunikasi profetik memberikan jawaban atas berbagai persoalan disaat rasionalitas dan cara berpikir empirik manusia yang hanya mengandalkan kemampuan otak secara fisik tak mampu menjawabnya. Patutlah dipahami bahwa struktur “diri” manusia tidaklah hanya dibentuk oleh struktur fisik semata, namun juga dibentuk oleh struktur non fisik. Bahkan dalam pendekatan psikologi disebutkan bahwa potensi fisik manusia hanyalah berkontribusi 20% saja. Sementara potensi non fisik lebih besar bahkan menguasai seluruh potensi yang ada dalam diri manusia yaitu sebesar 80%, itulah kesadaran, nilai-nilai (values), intuisi, keyakinan, dan sebagainya yang bersifat intrinsik dan memberikan sentuhan nilai yang melebihi dari sekedar rasional (beyond rational) serta menjadikan diri manusia bernilai sempurna sebagai manusia yang utuh.
Perspektif komunikasi profetik memahami bahwa otak hanyalah sebagai alat atau sarana dalam menyalurkan dan mengolah pesan (yang disebut potensi fisik tadi, 20% saja). Sementara, terdapat faktor lain yang menjadikan seorang manusia menjadi lebih sempurna bahkan menguasai mekanisme, cara dan nilai atas muatan (content) dari komunikasi manusia itu. Faktor lain itu yang disebut dengan hati (al qalbu). Hal ini mendasarkan pada sabda Nabi Muhammad saw yang menyatakan bahwa:
أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ, وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ؛ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ
“Ingatlah sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik maka baik pula seluruh jasad, namun apabila segumpal daging itu rusak maka rusak pula seluruh jasad. Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati!”
Kedudukan hati pada badan ibarat raja yang berkuasa atas pasukan (bnul qayyim al Jauziyah dalam muqaddimah kitab ighatsatul lahfan). Semua pergerakan yang dilakukan oleh badan berasal dari perintah sang raja yaitu hatinya. Baik buruknya suatu tindakan ditentukan oleh niat yang bersemayam di hati. Sehingga kualitas amal atau tindakan fisik dikendalikan penuh oleh niat di hati, apakah akan dihasilkan kelurusan tindakan atau penyimpangan. Semua bermula dari tekad kuat dalam hati. Sehingga hati bertanggungjawab atas tindakan badan.
Otak dan hati adalah kedua perangkat yang ada pada diri manusia untuk menjalankan potensi dasar yang dititipkan oleh Sang Pencipta disaat awal penciptaannya. Sebagaimana diinformasikan dalam teks sumber wahyu bahwa disaat awal penciptaan manusia, ada satu peristiwa menarik yang terjadi pada saat itu yaitu adanya protes malaikat atas rencana Allah swt dalam mencipta manusia, seakan mereka meremehkan makhluk baru yang akan dicipta. Namun untuk menunjukkan kuasaNya, Allah swt memberikan suatu keistimewaan spesifik pada makhluk baru yang diberi nama manusia (Adam) yaitu berupa kemampuannya mengenal nama-nama. Kemampuan ini tidaklah dimiliki oleh makhluk ciptaan Allah swt lainnya selain manusia. Sebagaimana FirmanNya :
وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ قَالُوٓاْ أَتَجۡعَلُ فِيهَا مَن يُفۡسِدُ فِيهَا وَيَسۡفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحۡنُ نُسَبِّحُ بِحَمۡدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۖ قَالَ إِنِّيٓ أَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُونَ. وَعَلَّمَ ءَادَمَ ٱلۡأَسۡمَآءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمۡ عَلَى ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ فَقَالَ أَنۢبِـُٔونِي بِأَسۡمَآءِ هَٰٓؤُلَآءِ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (30). Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar!” (QS. Al-Baqarah, Ayat 31)
Jadi, untuk membuktikan dan menguatkan kebenaran rencana penciptaannya maka Allah mempersiapkan berbagai perangkat dalam diri manusia untuk memudahkannya menemukan, menyimpan dan mengolah nama-nama itu secara kreatif sehingga mereka dapat bertahan hidup menuju hidup yang berkualitas, sebagaimana janji penciptaan. Perangkat itu haruslah mampu saling melengkapi dalam diri manusia untuk menjadi makhluk sebaik-baiknya ciptaan (ahsani taqwim). Untuk itulah manusia diberikan dua perangkat penting berupa otak, sebagai perangkat kerasnya (hardware) dan hati sebagai perangkat lunak (software). Keduanya berfungsi mengolah informasi penting menjadi sesuatu yang bermakna dalam menunjang kualitas kehidupan manusia. Sekalipun demikian, tentu eksistensi software jauh lebih penting, bermakna dan powerfull dari pada sekedar hardware, sebab software-lah yang menentukan suatu nilai kualitas dari produk baru yang dibuat oleh Sang Pencipta ini.
Demikianlah bahwa otak adalah perangkat fisik pada diri manusia, sementara hati adalah perangkat non fisik yang mengendalikan dan menguasai semua pergerakan yang dihasilkan oleh perangkat fisik tersebut. Karena itu daya jangkau pada keduanya berbeda. Hati mampu menjangkau berbagai hal yang tidak dapat diindera oleh manusia sementara otak terbatas pada apa yang bisa dijangkau oleh indera manusia saja. Sehingga hati memberikan nilai pada setiap perilaku manusia dengan sangat sempurna berdasar nilai-nilai yang memenuhi ruang hati tersebut. Sehingga hati menjadikan tindakan yang secara rasional mungkin dianggap merugikan dan tidak memiliki keuntungan menjadi sesuatu yang bernilai. Seperti berbagi, ikhlas dan sebagainya. Sebagai contoh dalam bisnis, seseorang tentu akan berhitung untung rugi dalam menjalankan roda bisnisnya, hal demikian tentu sangatlah rasional. Namun pada sebagian orang yang menggunakan kemampuan hatinya, mereka akan rela mengeluarkan banyak dana untuk berbagi (sedekah) sekalipun mungkin secara rasional mengurangi profit bisnis mereka.
Hati sebagai alat penimbang rasa apakah suatu pesan itu bernilai kebaikan atau keburukan, kebenaran atau kemungkaran. Karena hati adalah pusat bersemayamnya nilai-nilai. Realitas sikap perbuatan manusia adalah hasil dari formulasi nilai yang memenuhi hati manusia yang dibentuk oleh proses interaksi lingkungannya. Sebagaimana informasi hadist nabi:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، حَتَّى يُعْرِبَ عَنْهُ لِسَانُهُ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah hingga ia fasih (berbicara), maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Baihaqi dan Thabrani).
“Abawahu” kedua orang tuanya dapat pula berkesan bahwa lingkungan interaksinya yang akan membuatnya berubah dari nilai fitrahnya. Artinya kecenderungan hati seseorang dibentuk oleh proses interaksi lingkungan dimana seseorang berinteraksi. Disaat seseorang lebih sering berinteraksi dengan lingkungan kebaikan maka akan lahir cara berpikir dan tindakan yang dipenuhi dengan kebaikan demikian pula sebaliknya.
Al Qalbu, hati memiliki beberapa dimensi, antara lain yaitu: pertama, Fu’ad yaitu potensi yang berkaitan dengan aspek indrawi dan seringkali dilambangkan berada dalam otak manusia yang memiliki fungsi
rasio, kognitif. Ini adalah menjalankan peran intelektualitas melewati indera manusia. Potensi ini dianggap cenderung bergerak pada wilayah objektivitas, rasionalitas, analitik, jujur, dan sebagainya. Sebagaimana di jelaskan dalam teks sumber wahyu :
مَا كَذَبَ ٱلۡفُؤَادُ مَا رَأَىٰٓ
Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. (QS. An-Najm, Ayat 11)
وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡـُٔولٗا
Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya. (QS. Al-Isra’, Ayat 36)
Kedua, shadr merupakan potensi qalbu yang berkaitan dengan perasaan yang berperan untuk merasakan dan menghayati atau mempunyai fungsi emosi (marah, benci, cinta, indah,
afektif). Potensi ini adalah wadah untuk menerima cahaya kebenaran serta segala hal rumit yang tidak bisa dijangkau dan diterjemahkan oleh indera manusia. Sebagaimana dijelaskan dalam Firman Allah swt :
ثُمَّ أَنزَلَ عَلَيۡكُم مِّنۢ بَعۡدِ ٱلۡغَمِّ أَمَنَةٗ نُّعَاسٗا يَغۡشَىٰ طَآئِفَةٗ مِّنكُمۡۖ وَطَآئِفَةٞ قَدۡ أَهَمَّتۡهُمۡ أَنفُسُهُمۡ يَظُنُّونَ بِٱللَّهِ غَيۡرَ ٱلۡحَقِّ ظَنَّ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِۖ يَقُولُونَ هَل لَّنَا مِنَ ٱلۡأَمۡرِ مِن شَيۡءٖۗ قُلۡ إِنَّ ٱلۡأَمۡرَ كُلَّهُۥ لِلَّهِۗ يُخۡفُونَ فِيٓ أَنفُسِهِم مَّا لَا يُبۡدُونَ لَكَۖ يَقُولُونَ لَوۡ كَانَ لَنَا مِنَ ٱلۡأَمۡرِ شَيۡءٞ مَّا قُتِلۡنَا هَٰهُنَاۗ قُل لَّوۡ كُنتُمۡ فِي بُيُوتِكُمۡ لَبَرَزَ ٱلَّذِينَ كُتِبَ عَلَيۡهِمُ ٱلۡقَتۡلُ إِلَىٰ مَضَاجِعِهِمۡۖ وَلِيَبۡتَلِيَ ٱللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمۡ وَلِيُمَحِّصَ مَا فِي قُلُوبِكُمۡۚ وَٱللَّهُ عَلِيمُۢ بِذَاتِ ٱلصُّدُورِ
Kemudian setelah kamu ditimpa kesedihan, Dia menurunkan rasa aman kepadamu (berupa) kantuk yang meliputi segolongan dari kamu, sedangkan segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliah. Mereka berkata, “Adakah sesuatu yang dapat kita perbuat dalam urusan ini?” Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya segala urusan itu di tangan Allah.” Mereka menyembunyikan dalam hatinya apa yang tidak mereka terangkan kepadamu. Mereka berkata, “Sekiranya ada sesuatu yang dapat kita perbuat dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini.” Katakanlah (Muhammad), “Meskipun kamu ada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditetapkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh.” Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Dan Allah Maha Mengetahui isi hati. (QS. Ali ‘Imran, Ayat 154)
Ketiga, Hawaa yaitu potensi qalbu yang menggerakkan motivasi atau kemauan. Di dalamnya ada ambisi, kekuasaan, pengaruh, dan keinginan yang sifatnya materi duniawi.
وَلَوۡ شِئۡنَا لَرَفَعۡنَٰهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُۥٓ أَخۡلَدَ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ وَٱتَّبَعَ هَوَهُۚ
Dan sekiranya Kami menghendaki niscaya Kami tinggikan (derajat)nya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti keinginannya (yang rendah), (QS. Al-A’raf, Ayat 176)
Ketiga dimensi hati ini mengindikasikan adanya ruang pertempuran dua suara, suara kebaikan yang dibawa oleh malaikat melalui potensi fu’ad nya dan suara keburukan yang disuarakan oleh syetan yang masuk melalui potensi hawaanya.
Kajian biologi komunikasi profetik meletakkan hati sebagai pusat kajian karena dari hati inilah yang menggerakkan seluruh aktifitas dan menentukan kualitas komunikasi seseorang. Sehingga manakala seseorang mampu mengisi ruang qalbu nya dengan pengalaman lingkungan positif maka akan lahir perilaku komunikasi positif disaat berinteraksi dengan realitas sosial lainnya. Disinilah peran hati sebagai ruang untuk memilih. Selamat memilih tindakan komunikasi anda..!