Jèan Dreze dan Amartya Sen pernah mengerjakan penelitian dengan temuan provokatif (Hunger and Public Action, 1989). Lewat serangkaian riset empiris yang dikerjakan di beberapa negara, seperti Bangladesh, Ethiopia, India, Cina dan kawasan Sahara Afrika; didapatkan sebuah fakta yang menyentak. Konklusinya: bencana kelaparan hanya mungkin terjadi di negara yang dipimpin oleh pemerintahan yang otoriter, kediktatoran militer atau pemerintahan satu partai; dan hampir tidak pernah dijumpai di negara yang memakai sistem demokrasi. Singkatnya, pemerintahan semacam itu akan memunggungi keadilan dan mencetak kebijakan yang menggusur kemanusiaan.
Studi tersebut membawa imajinasi bahwa suatu perkara di hilir (kemelaratan, kelaparan, atau disparitas kesejahteraan) penyebabnya bisa jauh di hulu (sistem politik yang memproduksi kebijakan yang adil atau culas). John Rawls, filosof yang menulis buku monumental (A Theory of Justice), mengulas masalah ini dengan memformulasikan teori keadilan yang berbasis dari dua prinsip: (i) setiap orang harus memiliki hak yang sama terhadap skema kebebasan dasar; (ii) ketimpangan sosial dan ekonomi harus ditangani secara logis (menguntungkan semua orang) dan dicantumkan posisi yang terbuka bagi seluruh pihak.
Islam meyakini gentingnya keadilan dalam banyak ayat di kitab suci, salah satunya bisa disitir dari Surat al-Maidah: “Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” Padahal dipahami pula dengan terang bahwa orang yang paling mulia -dalam Islam- adalah orang yang bertakwa (QS. Al Hujurat:13). Jadi, salah satu pintu menjadi orang yang bertakwa adalah mempraktikkan laku adil secara kafah. Pramoedya Ananta Toer, salah satu satrawan besar, menulis taklimat bertenaga dalam tetralogi novel Bumi Manusia: “Seorang terpelajar harus berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.” Sila pamungkas Pancasila dirumuskan dengan anggun: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pertanyaannya, dari mana sumber keadilan? Rawls mempercayai bahwa keadilan tidak lain sebagai kepatutan. Tentu tak mudah mengukur kepantasan, namun ia percaya bahwa suatu kebaikan itu datang dari sesuatu yang benar (good comes from what is right). Dari sinilah ia membedakan antara keadilan prosedural dan keadilan sosial. Kebijakan yang secara prosedur benar (misalnya akses yang sama masuk ke arena ekonomi via pasar bebas) belum tentu akan menghasilkan keadilan sosial, karena tiap orang punya kapasitas yang berbeda. Selebihnya, ujar Rawls, keadilan menjelma dari sikap cinta kasih kepada sesama: “The sense of justice is continuous with the love of mankind.”
Penulis : Ahmad Erani Yustika, Guru Besar FEB UB dan Ketum IKA UB