Olimpiade Barcelona 1992 adalah sejarah besar Indonesia. Susi Susanti dan Alan Budikusuma mempersembahkan emas (pertama). Namun, pemerhati olahraga sejagat pada masa itu masih ingat satu nama ini: Derek Redmond. Ia pemegang rekor dunia lari 400 meter. Redmond merasa gelarnya tak sempurna bila emas olimpiade belum dikalungkan ke leher. Ia berlatih keras di bawah bimbingan ayahnya sendiri. Ketika lomba berlangsung, emas sudah nyaris di tangan. Sampai 225 meter ia unggul jauh. Malang tak dapat ditampik, kakinya cedera: roboh. Ia menolak takluk, meski tahu pasti kalah. Dia teruskan lomba dengan kaki pincang. Emas hilang, tapi hati penonton tak melayang.
Sebagian dari kita juga masih ingat dengan baik kompetisi “Dallas Marathon” pada akhir 2018. Videonya beredar cepat dari percakapan whatsapp maupun media sosial. Ariana Luterman bersaing ketat dengan Chandker Self menjelang ujung lomba. Sama seperti Redmond, tetiba Self ambruk karena kaki terkilir. Situasi menggiurkan itu tak dimanfaatkan Luterman untuk lari lebih kencang dan memenangkan balapan. Ia memilih membantu Self berjalan dan semeter menjelang akhir lomba dibiarkan lawannya mencapai garis duluan. Penonton berlinang air mata. Perlu dicatat: Luterman adalah siswi SMA.
Kedua peristiwa itu menggemakan kembali dua kesadaran vital dalam hidup. Tak ada keberhasilan yang gratis, seluruhnya diperoleh dengan cucuran keringat dan air mata. Redmond habis-habisan berlatih untuk menyempurnakan prestasinya. Segala kesenangan ditindih dan diabaikan untuk sementara waktu. Dia merangkak dari bawah, sebab bukan berasal dari keluarga mapan yang membuatnya mudah menggapai impian. Ia terlatih berjuang. Redmond bisa memilih berhenti sebab cedera. Tapi, terdapat peringkat di atas juara dalam lomba, yakni sportivitas dan daya juang. Redmond memenangkan nilai itu.
Lantas, Luterman menyempurnakan lagi makna kemenangan. Ia tak ingin meraih keberhasilan di atas ketidaksetaraan. Lawannya luka dan ia jelas punya peluang besar menjadi juara. Namun, olahraga adalah perkara sportivitas, sehingga dia memilih menolong pesaingnya untuk bersama-sama menuju finis, bahkan Self ia menangkan. Dia tanam nafsu pribadi di dasar batin suci. Kepentingan raga mesti tunduk di kolong pengendalian jiwa. Hati yang bening itu terbit dari kesadaran bahwa kemanusiaan lebih nyaring dari perlombaan. Ramadan tak lain ialah tutur daya juang dan pengendalian.
Penulis : Ahmad Erani Yustika, Guru Besar FEB UB dan Ketum IKA UB