Video singkat 7 menit yang beredar pekan ini membuat saya tercekat. Kerongkongan terasa kering. Penyebabnya adalah lelaku Mbah Lindu, warga Jogjakarta. Orang mengenalnya sebagai pembuat dan penjual gudeg. Saya lebih suka menyebutnya: penyulut hidup.
Tubuhnya terlihat ringkih dengan tulang yang menyembul dari buku-buku jari. Ia berjalan agak bungkuk, sebab usianya menginjak 97 tahun. Tapi ini mukjizatnya: jam 2 pagi ia bangun dan berjalan pelan menuju dapur kampung menanak nasi dan bubur. Tepat pukul 04.30 beliau diantar cucu keluar rumah menaiki mobil pick up membawa dagangan ke wilayah Malioboro.
Jualannya laris dan ditunggu pelanggan atau pelancong yang kebetulan mampir Jogja. William Wongso memuji kegurihan menunya. Jam 09.00 dagangan telah ludes. Mbah Lindu pulang untuk rehat sebentar. Pukul 2 siang kembali mengolah gudeg dan lauk pelengkap. Ia angkat sendiri kayu bakar dari belakang rumah. Dia masukkan kayu ke tungku kuno. Hawa panas tentu menyengat dari bara kayu bakar. Keseluruhan proses meracik dan merebus itu baru rampung (sementara) jam 7 malam. Mbah Lindu mampu berdiri berjam-jam tanpa bantuan. Pasti tak banyak orang yang sanggup menunaikan itu tiap hari. Mbah Lindu sudah mengerjakan itu selama 84 tahun!
Ingatan saya juga melayang ke Nick Vujicic. Pria kelahiran Australia ini begitu masyhur beberapa tahun silam karena inspirasi hidupnya. Ia penderita “Tetra-amelia Syndrom” yang membuat bagian tubuh geraknya tidak bisa tumbuh. Alhasil, Nick tidak memiliki 2 tangan dan kaki. Apakah dia menyerah? Tidak. Ia justru berjuang mandiri dengan segala keterbatasan. Nick lulus universitas dan menjadi motivator ulung dunia. Ia berikan daya cipta bahwa ketidaklengkapan raga bukan kekurangan. Nick dirikan lembaga nirlaba, “Life Without Limbs”, untuk membantu kaum difabel lainnya tegak berdiri dan mandiri.
Mbah Lindu dan Nick sejatinya sedang berdakwah soal sikap yang sudah lama lenyap pada sebagian hidup kita: etos. Sikap menolak takluk atas keterbatasan (raga). Hidup mesti tegak di atas kaki, tak bergelayut dari donasi. Keterbatasan yang diperjuangkan akan mengantarkan kepada keberhasilan. Sebaliknya, kelimpahan yang disia-siakan akan membawa kepada kehancuran.
Satu lagi, ketika ditanya resepnya bisa sehat dan kukuh hingga usia 97 tahun, Mbah Lindu berujar: “Nrimo, ora pingin opo-opo. Ora iri karo wong sugih, nrimo kepunyaan dewe.” Mbah Lindu dan Nick dalam hening tengah menyulut api ramadan dalam sekujur laku dan liku hidupnya.
Penulis : Ahmad Erani Yustika, Guru Besar FEB UB dan Ketum IKA UB