Kanal24 – Malang, Upaya restorasi ekosistem yang terstruktur harus dimanifestasikan guna mengatasi krisis iklim yang saat ini sedang dihadapi dunia. Pemanasan global yang semakin intens menyebabkan terjadinya berbagai bencana hingga beberapa kawasan pesisir di dunia terancam tenggelam. Kolaborasi antar pihak untuk menyelamatkan ekosistem pesisir menjadi kunci yang krusial dalam penanggulangan krisis iklim. Hal ini disampaikan oleh akademisi dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Prof. Dr. Rudianto, M.A. dalam acara Sidang Terbuka Senat Akademik Pengukuhan Profesor Universitas Brawijaya pada Rabu (20/7/2022).
“Peranan kawasan pesisir sangat penting dan strategis sebagai upaya mengurangi perubahan iklim. Salah satu ekosistem yang sangat besar peranannya untuk mencegah dampak perubahan iklim adalah mangrove. Sebab mangrove memiliki peran menahan abrasi terhadap tsunami, mendukung tempat berkembang biaknya ikan dan kepiting, serta memiliki kemampuan menyerap karbondioksida yang lebih efektif jika dibandingkan hutan hujan dan hutan gambut,” terang Prof. Rudianto.
Meskipun ekosistem pesisir, khususnya mangrove memegang peranan vital terhadap lingkungan dan iklim, banyak pihak masih mengabaikan fakta ini. Mengingat degradasi kawasan mangrove semakin meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2020, luas hutan mangrove di Indonesia hanya sekitar +3,31 juta Ha di mana +600.000 Ha berada dalam kondisi kritis.
Dalam rangka mengatasi permasalahan degradasi kawasan pesisir dan rusaknya hutan mangrove, Prof. Rudianto melakukan penelitian yang disebut sebagai Restorasi Ekosistem Mangrove Desa Pesisir (REMDP). Ia melakukan penelitian di beberapa lokasi sampel di provinsi Jawa Timur, yaitu pesisir Kabupaten Lamongan, Desa Penunggal di Kabupaten Pasuruan, Alas Purwo di Taman Nasional Kabupaten Banyuwangi, dan pesisir Clungup Kabupaten Malang. Lokasi-lokasi tersebut dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa hampir separuh dari hutan mangrove di Jawa Timur kondisinya rusak.
Penelitian tersebut dilakukan untuk meminimalisir dampak perubahan iklim melalui basis keterpaduan analisis ekologi untuk konservasi, analisis pemanfaatan untuk ekonomi, dan analisis sosial budaya untuk kearifan lokal. Dari temuannya, untuk memulihkan wilayah kerusakan pesisir dibutuhkan penanganan segera yang berbasis kearifan lokal.
“Kearifan lokal tersebut berbentuk gotong royong yang diimplementasikan melalui konsep collaborative management dengan mengerahkan tenaga para pemangku kepentingan atau stakeholder untuk bersama-sama memulihkan kembali kondisi hutan mangrove yang sudah rusak dengan berbasis restorasi ekosistem mangrove,” imbuh Prof. Rudianto
Model REMDP didasarkan pada pengelolaan partisipatif, kolaboratif, atau pengelolaan berbasis masyarakat. Model ini melibatkan tiga pihak secara berkesinambungan, yakni masyarakat, pemerintah, dan swasta. Masyarakat berperan memanfaatkan, memelihara, melindungi, dan memulihkan hutan mangrove. Sedangkan pemerintah memiliki wewenang untuk memegang mandat atas undang-undang yang mengatur pengelolaan sumber daya pesisir, seperti mangrove. Di sisi lain, swasta turut berkontribusi melestarikan hutan mangrove dari segi pembiayaan.
“Tiga komponen penting ini harus saling bergotong royong agar keberhasilan restorasi ekosistem mangrove melalui basis co-management dapat tercapai,” pungkas Prof. Rudianto. (riz)