Kanal24 – Industri game di Indonesia tengah berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, potensinya luar biasa besar, didukung jumlah pemain game yang terus meningkat, penetrasi internet yang kian meluas, hingga daya tarik demografi muda. Namun di sisi lain, game lokal masih menghadapi berbagai tantangan serius, mulai dari minimnya pendanaan, kesulitan membangun komunitas, hingga lemahnya strategi ekspansi ke pasar global.
Pemerintah sendiri telah menerbitkan Peraturan Presiden (PP) Nomor 19 Tahun 2024 tentang Percepatan Pengembangan Industri Game Nasional, sebagai upaya mempercepat pertumbuhan ekosistem industri game. Salah satu poin penting dari aturan ini adalah pendanaan, di mana pemerintah memberi ruang agar dana untuk pengembangan game bisa bersumber dari APBN, APBD, maupun sumber sah lainnya. Kebijakan ini lahir dari realita bahwa industri game lokal masih kesulitan dalam memperoleh pembiayaan, terutama jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga.
Baca juga:
Film “Ingatan dari Timor” Ajak Refleksi Sejarah dan Rekonsiliasi
Data dari dealroom.co mencatat, pada 2024 pendanaan untuk industri game Indonesia hanya sekitar 3 juta dolar AS, jauh tertinggal dibandingkan Singapura yang mencapai 127 juta dolar AS, apalagi Amerika Serikat dengan lebih dari 3 miliar dolar AS. Ironisnya, meski pemerintah menargetkan adanya peningkatan investasi hingga 40 juta dolar AS pada 2025, hingga pertengahan tahun ini belum ada realisasi yang tercatat.
Pasar Besar, Game Lokal Masih Tersisih
Jika dilihat dari sisi pasar, sebenarnya potensi game di Indonesia sangat menjanjikan. Laporan Sensor Tower tahun 2024 mencatat belanja pemain game Indonesia melalui in-app purchase mencapai 410 juta dolar AS. Dari segi unduhan, Indonesia bahkan masuk tiga besar dunia setelah India dan Brasil dalam jumlah pengunduhan game mobile di Google Play.Namun, sayangnya dominasi tersebut justru dikuasai oleh game luar negeri. Judul-judul populer seperti Free Fire (Singapura), Mobile Legends (Tiongkok), hingga 8 Ball Pool (Swiss) menjadi favorit pemain tanah air. Sebaliknya, game lokal hanya sesekali mencuri perhatian, seperti “Aku si Peternak Lele” atau “Ojol The Game”, namun gaungnya cepat meredup.
Salah satu penyebabnya adalah lemahnya pembentukan komunitas gamer lokal. Game-game luar berhasil bertahan karena mereka memiliki basis komunitas yang solid, bahkan hingga ke level akar rumput. Komunitas inilah yang menjaga loyalitas pemain dan menciptakan siklus keberlanjutan. Game lokal, sebaliknya, masih banyak yang hanya menonjolkan sisi permainan, tanpa fitur interaksi sosial yang bisa mengikat pemain. Padahal, fitur komunikasi dan interaksi kini menjadi salah satu kunci kesuksesan sebuah game. Contohnya bisa dilihat dari popularitas Roblox, yang berkembang bukan hanya karena gameplay, tetapi juga karena memberi ruang interaksi antar pemain.
Ekosistem yang Belum Matang
Industri game merupakan pasar dua sisi: ada developer di satu sisi, dan pemain di sisi lain, yang dipertemukan melalui platform seperti Sony, Tencent, atau Nintendo. Di dalamnya juga ada publisher sebagai penentu distribusi. Sayangnya, di Indonesia, rantai ekosistem ini belum sepenuhnya terbangun. Publisher asing masih mendominasi pasar. Pada 2024, 39,23 persen konsumsi gamer Indonesia dinikmati oleh publisher asal Tiongkok dengan pendapatan 162 juta dolar AS, diikuti Amerika Serikat (73 juta dolar AS), Singapura, Jepang, dan Korea Selatan. Publisher Indonesia sendiri hampir tak terlihat dalam daftar.
Lebih jauh, game lokal juga cenderung sulit menembus pasar global karena terlalu kental dengan nuansa domestik. Game seperti “Peternak Lele” atau “Ojol The Game” memang berhasil menarik perhatian publik Indonesia, tetapi kurang relevan untuk pasar internasional.
Peluang Emas, Tapi Butuh Strategi Baru
Indonesia saat ini memiliki 174,1 juta pemain game (2021), dan diperkirakan akan meningkat menjadi 192,1 juta orang pada 2025. Angka ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu pasar terbesar di dunia. Dengan basis pemain yang besar, seharusnya game lokal punya peluang emas untuk berkembang. Namun agar potensi itu bisa diwujudkan, perlu adanya strategi baru:
1. Pendanaan yang Lebih Terarah
Pemerintah tidak hanya perlu membuka akses pendanaan, tetapi juga memastikan dana itu tepat sasaran, termasuk untuk riset, produksi, hingga promosi game lokal.
2. Penguatan Komunitas Gamer Lokal
Game lokal harus berfokus pada fitur interaksi, yang memungkinkan pemain membangun relasi sosial. Dari komunitas kecil bisa tumbuh ekosistem besar, bahkan melahirkan tim e-sports lokal.
3. Publisher Lokal yang Lebih Kuat
Indonesia perlu melahirkan publisher kuat yang mampu mengangkat game lokal ke pasar global, tidak hanya bergantung pada distribusi domestik.
4. Diversifikasi Tema Game
Jika ingin bersaing di pasar global, game lokal tidak bisa hanya mengandalkan nuansa lokal. Perlu ada diversifikasi tema yang universal, tanpa kehilangan identitas budaya Indonesia.
Baca juga:
Krajan Lawas, Cara Tunggulwulung Rayakan Kemerdekaan
Potensi industri game lokal sebenarnya sudah di depan mata. Pasar besar, demografi mendukung, komunitas gamer sudah terbentuk, bahkan e-sports tengah booming. Namun, semua potensi itu masih tertahan oleh lemahnya pendanaan, strategi pengembangan, dan absennya komunitas yang solid.
Jika pemerintah dan pelaku industri serius memanfaatkan momentum ini, bukan mustahil game lokal suatu hari bisa sejajar dengan Free Fire, Mobile Legends, atau bahkan melahirkan fenomena global baru. Namun, jika tidak, potensi besar itu hanya akan jadi catatan, tanpa pernah berubah menjadi prestasi nyata.(tia)