KANAL24, Malang – Pandemi covid-19 nampaknya memberikan pengaruh yang besar ke berbagai sektor, tak terkecuali persoalan tentang sampah medis. Pakar Sosiologi Universitas Brawijaya, Genta Mahardhika Rozalinna, S.Sos., M.A., dalam diskusi publik “Tata Kelola Sampah Medis di Tengah Pandemi Covid-19” Kamis (16 Juli 2020) mengatakan, berdasarkan big data science dalam kurun waktu 8 hari terakhir menunjukkan bahwa cerita tentang masalah sampah medis itu lebih banyak bicara tentang bahaya dari virus Covid tersebut, bahaya masker dan sarung tangan sekali pakai kalau dibuang sembarangan, dan letak TPA. Dari ketiga hal ini, pembicaraan netizen mengatakan bahwa ini merupakan cikal bakal dari bencana ekologis. Pada prinsipnya, sampah medis sangat terkait dengan bencana ekologis.
“Ketika berbicara tentang limbah medis, selama ini selalu dikaitkan dengan Rumah Sakit, Laboratorium, Klinik atau Puskesmas. Ini yang saya lihat ada yang luput ketika bicara masalah limbah medis adalah di level skala rumah tangga. Dengan hadirnya Covid-19, ada dampak positif seperti semakin sadarnya masyarakat untuk menerapkan PHBS dengan salah satunya menggunakan masker, ini yang seharusnya juga menjadi perhatian, bahwa ada limbah medis yang dihasilkan oleh rumah tangga” kata Genta.
Lanjutnya, ketika ada gejala limbah medis di level rumah tangga yang sangat minim sekali dibicarakan, sebenarnya sampah medis rumah tangga itu beresiko tinggi tidak disterilkan karena pengetahuan yang kurang mumpuni. Pengetahuan yang mempuni ini menjadi tanggung jawab bersama sebab tidak semua orang juga paham dengan teknologi. Contoh, bagaimana dengan generasi X atau generasi yang sudah masuk usia 60 tahun yang minim menggunakan teknologi sehingga tidak pernah tahu bagaimana mengelola limbah medis dalam rumah tangga.
Kalau dari limbah medis rumah tangga dalam konteks masker sekali pakai, ada beberapa aktor yang beresiko dan luput untuk dibicarakan. Pertama adalah anggota keluarga yang membuang limbah medis berupa masker. Berbicara orang yang terkonfirmasi positif corona itu lebih jelas dibanding dengan orang-orang yang tanpa gejala, ini cukup membahayakan anggota keluarga yang tidak tahu kalau misalnya satu keluarganya ternyata OTG. Kedua, petugas pembuang sampah, kalau Rumah Sakit ada pihak ketiga yang mengelola jadi sudah jelas, namun bagaimana dengan rumah tangga? Ini menjadi kelompok orang beresiko yang luput dari pengamatan.
Ketiga adalah pemulung, bicara dalam pengelolaan sampah rumah tangga, ada beberapa kelompok yang sudah sadar untuk memilah atau mengelola sampah. Tapi di indonesia, ketika sampah diangkut ke truk juga akan tercampur kembali artinya percuma kegiatan pemilahan sampah di rumah tangga kalau tidak ada sistem yang cukup baik untuk menangani distribusi sampah dari rumah tangga ke TPS dan ke TPA. Keempat, warga yang tinggal di sekitar TPA juga penting diperhatikan karena sumber mata air, tanah, dan udara juga pasti tercemar.
Empat aktor ini luput dibicarakan, karena pemberitaan saat ini cenderung kepada pengelolaan limbah medis di level makro, sedangkan oran-orang saat ini semakin sadar terhadap PHBS sehingga ini resiko yang penting untuk dibicarakan.
“Keadilan ekologis butuh identifikasi serius terkait penglibatan aktor-aktor yang mengelola, kelompok beresiko adalah salah satunya. Dari sisi akademisi, covid-19 seharusnya mendorong hasil-hasil riset terkait masalah pengelolaan sampah medis supaya dapat diimplementasikan. Sehingga dengan seperti ini proses pengelolaan sampah sifatnya adalah komprehensif secara menyeluruh tidak parsial. Siapa mengawal siapa tidak penting, yang penting adalah siapa bisa sumbangsih apa. Karena aktor-aktor ini juga harus terlibat dan Pemerintah harus memperhatika pengelolaan limbah sampai di level rumah tangga,” tandasnya. (Meg)