Kanal24, Malang – Maraknya kasus perundungan dan masih tingginya angka pernikahan dini di kalangan remaja menjadi latar belakang diselenggarakannya kegiatan edukasi bertajuk “SATU: Satuan Anti Bullying” dan “Cegah Pernikahan Dini” oleh Mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) yang tergabung dalam program Mahasiswa Membangun Desa (MMD) Kelompok 10. Kegiatan yang digelar pada Jumat (25/07/2025), di SMPN 04 Satu Atap Desa Wonorejo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang ini dipimpin oleh Niendyta Noor Afifah, mahasiswa Ilmu Politik UB, dengan bimbingan Safarudin Hisyam Tualeka, S.Tr.Kom., M.A.B. selaku Dosen Pembimbing Lapangan.
Hasil Survei Jadi Titik Awal Program
Program ini berangkat dari survei awal yang dilakukan tim MMD Kelompok 10 saat pertama kali mengunjungi Desa Wonorejo. Dari hasil wawancara dengan pihak sekolah, terungkap bahwa kasus bullying masih kerap terjadi di lingkungan SMPN 04 Satu Atap.
Baca juga:
UB Gencarkan Edukasi Pengelolaan Sampah dengan Maggot di Desa Sidodadi

“Kami melihat masih cukup banyak siswa yang melakukan perundungan di sekolah ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kami sangat menyambut baik kegiatan ini karena siswa butuh pemahaman dari luar agar mereka bisa lebih sadar,” ujar Pak Nanda, Wakil Kepala Sekolah SMPN 04 Satu Atap.
Dari pihak desa, salah satu staf Kantor Desa Wonorejo menambahkan bahwa angka pernikahan dini di wilayah tersebut masih tergolong tinggi. Minimnya edukasi tentang risiko kesehatan, putus sekolah, serta ketidaksiapan emosional dianggap sebagai faktor utama yang membuat remaja rentan terjerumus dalam pernikahan dini.
Hak Anak Jadi Fokus Utama
Niendyta Noor Afifah selaku penggagas kegiatan menegaskan bahwa isu bullying dan pernikahan dini bukan hanya persoalan sosial, tetapi juga berkaitan dengan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).
“Sebagai mahasiswa Ilmu Politik, saya memahami bahwa baik bullying maupun pernikahan dini termasuk dalam pelanggaran HAM. Anak-anak berhak tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman, tanpa kekerasan dan tekanan,” ungkap Niendyta.
Dalam sesi edukasi, siswa kelas 8 diajak mengenali berbagai bentuk bullying, cara menghadapi, sekaligus strategi pencegahannya. Diskusi dilanjutkan dengan materi mengenai dampak pernikahan dini terhadap kesehatan, pendidikan, dan kesiapan mental remaja. Untuk mengukur efektivitas kegiatan, tim membagikan pre-test sebelum sesi dimulai dan post-test setelah kegiatan berakhir.
Cap Tangan Simbol Komitmen
Sebagai penutup, seluruh siswa diajak melakukan aksi simbolik berupa cap tangan pada sebuah kotak putih. Kotak ini tidak hanya menjadi deklarasi bersama untuk menolak perundungan, tetapi juga diperkenalkan sebagai wadah pengaduan bagi siswa yang ingin menyampaikan keluhan atau pengalaman terkait bullying.
“Cap tangan ini kami anggap sebagai simbol keberanian dan komitmen mereka untuk berkata tidak pada perundungan,” jelas Niendyta.
Harapan Lahirnya Agen Perubahan
Kegiatan ini meninggalkan kesan mendalam bagi para peserta. Beberapa siswa mengaku baru menyadari bahwa tindakan sederhana seperti mengejek teman bisa berdampak besar bagi psikologis seseorang.
Baca juga:
FISIP Bakti Desa UB Bikin Film Bantengan Ngroto Joyo
Niendyta berharap program SATU tidak berhenti sebagai kegiatan sehari, melainkan menjadi pintu masuk perubahan pola pikir anak-anak mengenai pentingnya menghargai sesama dan menjaga masa depan mereka. “Kami ingin anak-anak bisa menjadi agen perubahan kecil yang menyuarakan pentingnya empati, perlindungan hak, serta kesadaran akan masa depan mereka sendiri,” tambahnya.
Dengan langkah sederhana ini, nilai inklusi, keamanan, dan kesetaraan diharapkan benar-benar tertanam sejak dini, sehingga generasi muda Desa Wonorejo dapat tumbuh sebagai pribadi yang kuat, peduli, dan berdaya. (nid)