Attaariikhu yu’iidu nafsahu, Sejarah akan mengulangi dirinya sendiri. Demikianlah sebuah ungkapan yang menggambarkan bahwa nilai substantif peristiwa sejarah di masa lalu akan berulang kembali dalam sebuah peristiwa di masa depan dengan setting tempat dan pelaku yang berbeda, namun memiliki learning point yang sama untuk disampaikan pada generasi sebagai sebuah pembelajaran tentang bagaimana seseorang atau suatu generasi harus bersikap. Sebagaimana pula al quran banyak bercerita tentang sejarah masa lalu agar umat manusia selanjutnya dapat belajar pada peristiwa yang pernah terjadi itu, apakah sebagai suatu peristiwa yang perlu ditiru karena nilai kebaikannya ataukah peristiwa kehancuran yang patut untuk dijauhinya. Sehingga Allah berfirman :
قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِكُمۡ سُنَنٞ فَسِيرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَٱنظُرُواْ كَيۡفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلۡمُكَذِّبِينَ
Sungguh, telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah (Allah), karena itu berjalanlah kamu ke (segenap penjuru) bumi dan perhatikanlah bagai-mana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul). ( Ali ‘Imran : 137)
Demikianlah kita dapat melihat bagaimana pada awalnya agama ini diturunkan ke muka bumi melalui para utusannya dalam keadaan bersih dan lurus. Dalam banyak ayat alquran menjelaskan bahwa rujukan agama di muka bumi ini kembali kepada Nabiyallah Ibrahim yang lurus dalam menjalankan syariat agama Allah. Namun generasi setelahnya yang kemudian melakukan penyimpangan atas agama lurus itu atau aturan Sang Pencipta yang murni sehingga menjadi beragam macam syariat agama yang bercabang serta keluar dari keaslian dan kemurniannya melalui berbagai penyimpangan pemahaman dan tindakan amal keberagamaan yang terus dibiarkan lalu kemudian berwujud bentuk menjadi aturan dan agama yang baru.
Sebagaimana diketahui telah terjadi pergeseran dari agama tauhid menuju kesyirikan melalui berbagai penyimpangan pemahaman yang pada awalnya dimulai dengan didiamkannya kesalahan serta sikap permissif akan kemungkaran sehingga pada akhirnya benar-benar menyimpang dan bergeser jauh dari jalan aslinya. Sebagaimana dipahami bahwa bangsa Yahudi dinisbatkan pada salah satu dari 12 anak Nabi Yakub AS bin Ishaq AS bin Ibrahim adalah bernama Yahudza. Perhatikan bagaimana ummat yahudi mengalami penyimpangan dari ajaran Ibrahim yang lurus selama lebih dari 2000 tahun semenjak ditinggalkan oleh nabi Ibrahim. Demikian pula agama nasrani mengalami pergeseran nilai selama 571 tahun semenjak Nabi Isa diangkat oleh Allah hingga kelahiran nabi Muhammad saw (Berdasarkan jarak waktu kehidupan antar nabi, yaitu jarak kelahiran Nabi Muhammad SAW dan Nabi Isa AS diperkirakan berjarak selama 571 tahun. Sedangkan jarak antara Nabi Isa dan Nabi Musa sekitar 1716 atau 1900 tahun. Antara Nabi Musa dan Nabi Ibrahim 545 tahun). Sekalipun kemudian ummat generasi selanjutnya mengklaim bahwa ibrahim adalah pemeluk agama-agama itu. Namun klaim mereka dijawab oleh Allah swt bahwa Ibrahim adalah seorang muslim yang lurus. Sebagaimana FirmanNya :
مَا كَانَ إِبۡرَٰهِيمُ يَهُودِيّٗا وَلَا نَصۡرَانِيّٗا وَلَٰكِن كَانَ حَنِيفٗا مُّسۡلِمٗا وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ
Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus, Muslim dan dia tidaklah termasuk orang-orang musyrik. (Ali ‘Imran : 67)
Pertanyaannya adalah apakah ummat muhammad terhadap agamanya akan aman dari pergeseran tauhid agama yang lurus ini ?. Jika melihat pengalaman sejarah ummat-ummat sebelumnya maka ummat muhammad pun atas agama islam ini juga tidak akan terlepas dari bahaya pergeseran tauhid yang pada awalnya lurus (haniif) dan bersih kemudian bergeser dan berubah menjadi penuh kemusyrikan dan penyimpangan. Dan pelaku utama pergeseran nilai itu pastilah dimulai dari para ulamanya bahwa ulama yang tunduk dan kalah atas hawa nafsunya maka dialah yang akan menjadi pemandu utama pergeseran nilai itu. Itulah ulama suu’. Sehingga Rasulullah sangatlah mengkhawatirkan keberadaan mereka, sebab dari merekalah yang akan menentukan baik buruknya agama dan ummat ini ke depan. Sebagaimana dalam sabdanya :
ﺃَﻻَ ﺇِﻥَّ ﺷَﺮَّ ﺍﻟﺸَّﺮِّ ﺷِﺮَﺍﺭُ ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﻭَﺇِﻥَّ ﺧَﻴْﺮَ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮِ ﺧِﻴَﺎﺭُ ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ
Ingatlah, sejelek-jelek keburukan adalah keburukan ulama dan sebaik-baik kebaikan adalah kebaikan ulama. (HR ad-Darimi).
Pada ulama yang buruk (suu’) inilah yang menjadikan agama ini rusak dan melenceng jauh dari kemurniannya.
وَعَن زِيَاد بن حدير قَالَ: قَالَ لِي عُمَرُ: هَلْ تعْرِفُ مَا يهْدِمُ الْإِسْلَامَ؟ قَالَ: قلْتُ: لَا. قَالَ: يهْدِمُهُ زَلَّةُ الْعَالِمِ وَجِدَالُ الْمُنَافِقِ بِالْكِتَابِ وَحُكْمُ الْأَئِمَّةِ المضلين “.
Dari Ziyad bin Jadir, ia berkata : Umar berkata kepadaku : “Apakah kamu tahu hal-hal yang dapat merobohkan Islam? “, aku berkata : “tidak”, Umar berkata : “yang dapat merobohkan Islam adalah ketergelinciran ahli ilmu, kepintaran orang munafiq dalam bersilat lidah dengan Al Kitab, dan hukum yang ditetapkan oleh para pemimpin yang menyesatkan”. (Shahih mauquf. Sunan Ad Darimi (220)
Ulama yang demikian yang sangat dikhawatirkan oleh nabi karena mereka adalah tokoh dalam ummat ini. Mereka adalah seorang berilmu namun munafiq, mereka pandai bicara namun sejatinya menyesatkan ummat. Nabi bersabda :
عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي كُلُّ مُنَافِقٍ عَلِيمِ اللِّسَانِ
Dari Umar Bin al Khaththab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas umatku adalah setiap munafiq yang pandai bicara “ (Hadits shahih. Musnad Ahmad (143)
Para ahli ilmu yang munafiq kemudian karena kepandaian lidahnya membuatnya menjadi terkenal yang mengantarkannya sebagai pemimpin ummat yang ditokohkan dan dijadikan sumber rujukan oleh ummat. Inilah yang sangat membahayakan agama yang haniif ini sehingga bergeser dan menggelincirkan diri menuju kesesatan dan kehancuran.
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الْأَئِمَّةَ الْمُضِلِّين
Dari Tsauban berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Yang aku khawatirkan atas umatku adalah pemimpin-pemimpin yang menyesatkan.” (Hadits Shahih. Musnad Ahmad (22393, 22394), Sunan at Tirmidzi (2229), Sunan Ad Darimi (215), dan lainnya).
Lalu apa sebenarnya yang dilakukan oleh mereka dalam memalingkan nilai kebaikan yang lurus (haniif ) ini ? Rasulullah menjelaskan bahwa yang dilakukannya adalah menjadikan agama ini sebagai barang dagangan dan mereka menjualnya dengan harga yang murah hingga terjadi banyak penyimpangan dan keluar dari jalan yang lurus menuju jalan yang bengkok. Mereka rela merubah konsep dalam agama ini untuk mendapatkan sebagian kenikmatan dunia dengan melakukan reduksi atas konsep yang murni kemudian membelokkannya sesuai dengan kepentingannya atau bahkan mengadopsi konsep yang ada pada agama lain (menaturalisasikannya) dengan menganggap seakan konsep agama ini kurang tepat dan kurang relevan dengan perkembangan zaman sehingga lahirlah liberalisme islam. Disinilah mereka menaturalisasikan konsep pluralisme, sekularisme, toleransi, demokrasi dalam konstruksi pemikiran islam. Sehingga islam menjadi tidak murni kembali. Kemudian lahirlah keraguan dalam keyakinan beragama dan muncullah permisifitas atas kemungkaran.
Pembiaran atas penyimpangan konsep dan pergeseran nilai inilah hingga pada tahap selanjutnya akan menjadikan nilai-nilai islam yang lurus dan murni menjadi hilang dan musnah, istilah nabi adalah hancur. Sehingga islam yang murni dan lurus akan tampak aneh dan asing dalam pemahaman publik yang akhirnya para penyeru konsep islam yang lurus akan dianggap bertentangan dengan realitas dan dilabelkanlah pada mereka sebagai kelompok yang fundamentalis, radikal bahkan ekstrimis. Sebenarnya hal yang demikian dikarenakan konsep islam yang murni dan lurus telah di reduksi oleh para ulamanya, cerdik pandainya sendiri yang berpikir melampaui dari garis lurus (liberal keblinger), yang mereka telah rela menjual agamanya dengan harga yang murah terhadap penguasa atau penyokong dana sehingga kemudian ummatnya dijauhkan dari konsep yang lurus tersebut lalu ikut-ikutan menabuh genderang kebencian kepada para penyeru jalan yang lurus dengan memberikan label negatif dan menakutkan. Na’udzubillahi min dzalik. Benarlah apa yang sabdakan oleh nabi bahwa islam pada awal mulanya adalah asing dan kelak akan berakhir dalam keadaan asing pula.
بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيباً فَطُوبىَ لِلْغُرَبَاءِ
“Islam bermula dalam keadaan asing, dan akan kembali terasing seperti semula, maka beruntunglah orang-orang yang terasing.” (HR. Muslim)
Semoga Allah swt tetap menjadikan diri kita dijalan islam yang lurus dan murni serta dijauhkan dari jalan yang bengkok dan dimurkai. Semoga kita dijauhkan dari diri kemunafikan dan diampuni segala dosa atas segala kelemahan dalam menyuarakan kebenaran. Semoga Allah swt meridhoi perjuangan ini. Aamiiinn…
KH. Akhmad Muwafik Saleh dosen FISIP UB, penulis produktif, pengasuh pondok pesantren mahasiswa Tanwir Al Afkar