Siapakah santri itu ?. Secara historis, santri adalah setiap orang yang sedang belajar dan pernah belajar pada seorang guru tentang suatu ilmu agama di pondok pesantren pada seorang guru atau kyai. Mereka tinggal dalam kurun waktu tertentu di sebuah pesantren untuk menimba ilmu pada sang kyai. Dalam terminologi ini seorang santri sangat spesifik dan khusus pada seorang alumni pesantren. Sementara secara faktual seorang santri adalah seorang pembelajar yang menuntut ilmu dimanapun tempatnya. Pada terminologi ini maka santri adalah siapa saja yang pernah belajar atau bersekolah pada semua level. Dalam bahasa arab, kata santri sama dengan thaalibun atau thaaliban (dibaca nasab) yaitu seseorang yang mencari atau menuntut dan belajar suatu ilmu. Kata thaalib merujuk pada apa yang disampaikan oleh nabi tentang kewajiban menuntut ilmu. Sebagaimana sabdanya :
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ
Artinya : ”Mencari ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun muslim perempuan”. (HR. Ibnu Abdil Barr)
Belajar atau mencari ilmu adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh manusia agar dirinya menjadi mulia sebagaimana awal penciptaannya. Karena sebab keutamaan ilmun maka malaikat dan jin diminta untuk bersujud kepada manusia pertama, Nabi Adam sekalipun ternyata iblis tidak bersedia mematuhi perintah Allah sebab iri dengki dalam hatinya. Oleh karena itu, menjadi santri sebenarnya adalah kewajiban setiap manusia. Dan setiap muslim pastilah seorang santri, kecuali mereka yang tidak pernah belajar pada siapapun dan tentang apapun.
Santri adalah pembelajar, setiap orang yang telah melalui proses belajar pasti menghasilkan sebuah perubahan, baik pikiran maupun sikap perilaku yang khas dan menjadi pembeda dengan manusia lainnya yang tidak pernah melalui proses belajar. Oleh karena itu seorang santri haruslah seseorang yang memiliki karakteristik tertentu sebagai pembeda. Setiap daerah pastilah memiliki ciri khasnya masing-masing yang dipengaruhi oleh seorang guru dan realitas fakta yang mempengaruhi proses belajar tersebut.
Karakteristik santri nusantara adalah santri yang pejuang. Lihatlah para pahlawan bangsa kebanyakan adalah para santri. Tersebutlah beberapa nama seperti Pangeran Diponegoro yang pernah berguru dan menjadi santri dari Kyai Taptajani yang mengajari ilmu spiritual, sufistik termasuk fiqih pada Bendara (Santri) Raden Mas Antawriya. Demikian pula dengan Panglima sudirman, adalah seorang santri dan seorang guru di sekolah Muhammadiyah. Seorang guru yang menginspirasi sang Jendral besar adalah seorang ulama bernama Kiai Subchi. Kepadanya-lah Jendral Sudirman meminta nasehat dan do’a sebelum memimpin perang Palagan Ambarawa. Demikian pula tercatatlah pemuda pemberani bernama Bung Tomo, seorang tokoh pahlawan yang melakukan perlawanan terhadap penjajah di Surabaya dan menggerakkan pemuda surabaya dan jawa timur untuk berperang pada tanggal 10 november 1945 setelah mendapatkan restu dari gurunya yaitu KH. Hasyim Asy’ari yang mengeluarkan ultimatum perang dengan nama Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 dan kemudian mengobarkan perang 4 hari di surabaya setelah itu. Bahkan Bung Karno (Presiden RI Pertama) mengakui bahwa dirinya adalah seorang santri yang belajar kepada Kyai Haji Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah).
Tercatat banyak pula para ulama, guru mulia yang turun tangan menggelorakan perlawanan atas penjajahan terhadap para pemuda dan masyarakatnya hingga mereka keluar dari surau-suraunya, pondok pesantrennya untuk memimpin langsung perjuangan hingga mereka mati sebagai syuhada di medan perang ataupun dibuang ke daerah yang sangat jauh dari tanah kelahirannya. Tercatatlah Tuanku Imam Bonjol, Muhammad Syabab atau Peto Syarif dari daerah Bonjol, Sumatera Barat, yang dibuang ke Manado. Demikian pula dengan Kyai Mojo, Muslim Muhammad Khalifah dari Desa Modjo Tegalrejo Boyolali, Jawa Tengah, seorang ulama dan guru spiritual dari Pangeran Diponegoro sekaligus seorang arsitek perang Diponegoro, yang karena perlawanannya yang menyusahkan penjajah Belanda akhirnya dibuang ke Tondano, Sulawesi Utara.
Ruh perjuangan dalam diri santri sejatinya adalah wujud integral dari nilai-nilai islam dalam menuntut ilmu, yaitu suatu ilmu baru akan dinamakan bermakna apabila ilmu mampu disampaikan kembali atau disebarkan kepada orang lain yang kemudian menjadi landasan sikap dan perilaku. Inilah yang disebut dengan dakwah, suatu upaya menyebarkan nilai-nilai ilmu dan kebenaran kepada ummat. Substansi ajaran Islam adalah dakwah. Amal dakwah adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan bagi seorang muslim (kifayah). Sebagaimana Firman Allah swt :
وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةٞ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ
Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali ‘Imran, Ayat 104)
Bahkan dakwah adalah cara untuk menjadikan ummat ini sebagai ummat terbaik (sebagai individu atau bagian kelompok). Sebagaimana FirmanNya :
كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ وَلَوۡ ءَامَنَ أَهۡلُ ٱلۡكِتَٰبِ لَكَانَ خَيۡرٗا لَّهُمۚ مِّنۡهُمُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَأَكۡثَرُهُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ
Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik. ( Ali ‘Imran, Ayat 110)
Dari sinilah dapat dipahami bahwa seorang pembelajar (thaalib) dalam islam sejatinya adalah seorang pejuang, yaitu seorang penyebar ilmu dan penegak kebenaran. Dengan demikian maka seorang pembelajar dalam islam adalah orang yang peduli dan peka atas berbagai kemungkaran dan berjuang untuk mencegahnya menular dan menguasai kehidupan. Karena tidak akan pernah bertemu antara terang (ilmu, kebenaran) dan gelap (kemungkaran dan kedhaliman) dalam satu realita.
Karena islam adalah agama dakwah maka dapatlah dipahami bahwa para penuntut ilmu (santri, thaalib) adalah para pejuang. Hal ini mengingatkan saya pada beberapa kasus yang terjadi dalam berbagai peristiwa perlawanan atas kemungkaran dan perubahan suatu masyarakat, pastilah digerakkan oleh para ahli ilmu, apakah seorang kyai ataupun santrinya. Disinilah kita melihat dalam pengalaman berbagai perlawanan dan perubahan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Dapatlah dipahami, perlawanan dalam menuju kemerdekaan Indonesia dari cengkeraman kedhaliman penjajahan selalu digerakkan oleh para ulama, cendekiawan dan santri. Bahkan dalam berbagai proses pergantian orde di negeri ini selalu digerakkan oleh mahasiswa (thaaliban). Bahkan perlawanan atas kedhaliman di negara Afganistan digerakkan juga oleh para pelajarnya yang kemudian dikenal dengan kelompok Thaaliban (pelajar).
Karakteristik lainnya dari santri nusantara adalah para pembelajar yang sangat loyalis terhadap perjuangan sang Guru. Tercatatlah kisah Kyai Mojo dan para santrinya yang memiliki jiwa loyalitas tinggi. Saat kyai Mojo dibuang ke Tondano, tampillah para santri Kyai Mojo berjumlah 60 orang anak muda untuk turut ikut serta (minta dibuang) demi mengikuti jejak langkah sang guru di tanah pembuangan. Demikian pula kita bisa melihat loyalitas para pemuda dan kaum muslimin jawa Timur terhadap sang guru yaitu KH. Hasyim Asy’ari yang mengumandangkan seruan resolusi jihad dan kemudian diikuti dengan semangat perlawanan gegap gempita mengusir (kembali) penjajah dari tanah surabaya dengan jiwa tanpa rasa takut mati. Loyalitas inilah yang ditampilkan oleh para santri nusantara yang melekat menjadi karakteristik unik untuk turut membela dan mengikuti jejak langkah sang guru. Karakteristik ini pulalah yang dibawa saat para santri nusantara menuntut ilmu di Timur Tengah, Jazirah Arab kepada para ulama disana hingga terkenal dikalangan mereka bahwa santri dari nusantara adalah para santri dengan loyllitas tinggi hingga para guru mereka di Arab sangat mencintainya.
Sejalan dengan karakteristik tersebut diatas, memang dipahami dalam dunia pembelajaran bahwa seorang pembelajar haruslah memiliki dua semangat dan jiwa sebagaimana tersebut. Mengingat hubungan seorang santri dengan guru tidaklah semata hanya dalam proses belajar mengajar semata. Seorang guru dalam islam bukanlah sekedar menyampaikan ilmu belaka namun guru bertugas mendidik, membimbing dan mengarahkan serta mengawal keilmuan, jiwa dan spiritialitas semua muridnya. Para guru sejatinya haruslah menjadi pembimbing ruh, murabby ruh bagi para muridnya, santri-santrinya hingga mereka dapat lebih mengenal dengan dekat Tuhan sang Penciptannya. Terkenallah sebuah ungkapan ” Lawlaa Murabbi maa ‘araftu rabby”, Kalau sekiranya tanpa seorang guru yang membimbing, tentulah aku tidak mengenal Tuhanku. Berkat jiwa dan semangat mendidik, membimbing dari para guru yang seperti inilah maka layaklah seorang santri mendeklarasikan bahwa dirinya adalah bersedia menjadi santri selamanya. “Maa ziltu thaaliban”, selamanya aku adalah santri.
Semoga Allah swt menjadikan ilmu yang dipelajari mampu mendekatkan pada Nya dan semakin melembutkan dan mengagungkan akhlaq para ahlinya. Aamiiin…
KH. Akhmad Muwafik Saleh dosen FISIP UB, penulis produktif, pengasuh pondok pesantren mahasiswa Tanwir Al Afkar