Kanal24, Malang – Di tengah kompleksitas sebuah organisasi, pemimpin yang mampu mengayomi menjadi kunci bagi terciptanya harmoni dan soliditas. Ia bukan sekadar sosok yang memegang otoritas, melainkan figur yang memahami setiap dinamika, menjembatani perbedaan, dan menumbuhkan semangat kebersamaan.
Sebagai akademisi dan praktisi organisasi, Dr. Ahmad Imron Rozuli telah lama memperlihatkan kepiawaiannya dalam merangkul keberagaman perspektif untuk melahirkan sinergi. Melalui pengalaman panjangnya, ia percaya bahwa sebuah organisasi yang sehat adalah cerminan dari hubungan yang kuat antara individu-individu di dalamnya. Filosofi guyub yang ia yakini menjadi landasan bagi upayanya untuk memajukan kelembagaan, sekaligus membawa manfaat bagi masyarakat luas.
Perjalanan Organisasi yang Membentuk Karakter
Dr. Ahmad Imron memulai perjalanannya di Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya (kini FEB UB) sebagai Ketua Senat Mahasiswa pada 1998-1999, tepat di tengah dinamika reformasi. Dalam posisi tersebut, ia belajar bagaimana perubahan di tingkat makro—seperti pergerakan sosial-politik—mencerminkan dinamika di tingkat mikro, seperti individu dan kelompok.
“Sistem besar tidak bisa lepas dari peran elemen terkecil,” ujarnya.
Lahir dari keluarga petani yang sederhana, Dr. Ahmad Imron kerap mengaitkan filosofi guyub dengan pengalaman hidupnya. Ia membandingkan proses memimpin organisasi dengan “angon kebo” (menggembala kerbau), yang menuntut kesabaran, ketegasan, dan kemampuan membimbing.
“Kerbau itu sulit diatur, tapi justru di situlah tantangan kepemimpinan: bagaimana membimbing, mengarahkan, tetapi juga membaur dengan kebutuhan individu dalam kelompok,” tuturnya.
Di tingkat nasional, Dr. Ahmad Imron juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Ikatan Senat Mahasiswa Ekonomi Indonesia (ISMEI). Dari pengalaman ini, ia belajar bahwa keberhasilan organisasi terletak pada sinergi antara pendekatan top-down dan bottom-up.
“Pola itu harus bertemu. Kalau tidak, organisasi akan kehilangan arah,” tegasnya.
Guyub: Fondasi dalam Organisasi
Menurut Dr. Ahmad Imron, guyub bukan sekadar nilai tradisional, melainkan prinsip universal yang harus diterjemahkan ke dalam aksi nyata. Ia mencontohkan implementasi guyub dalam FISIP UB melalui pengelolaan Kelompok Jabatan Fungsional Dosen (KJFD). Dengan mendorong interaksi antar-KJFD dan menciptakan pusat-pusat kajian, ia berharap pengembangan keilmuan dapat berjalan selaras dengan kesejahteraan dosen dan mahasiswa.
“Guyub kesejahteraan itu adalah bagaimana organisasi tidak hanya berfungsi hierarkis, tapi juga menjadi ruang interaksi dan kolaborasi,” ujarnya.
Ia menggambarkan guyub sebagai praktik “nge-blend,” di mana semua elemen organisasi saling mendukung tanpa menghilangkan identitas masing-masing.Dr. Ahmad Imron juga menekankan pentingnya guyub dalam hubungan eksternal.
Dengan menjembatani kebutuhan internal organisasi dan masyarakat luas, guyub menjadi alat untuk menciptakan maslahat bagi semua pihak, termasuk pemerintah dan mitra internasional.
Filosofi Guyub yang Membumi
Guyub, dalam pandangan Dr. Ahmad Imron, adalah prinsip yang harus “dibumikan.” Ia mengaitkannya dengan praktik konkret, seperti join riset, yang melibatkan kolaborasi lintas disiplin dan institusi.
“Guyub itu bukan slogan, tapi cara kita menjembatani kepentingan bersama,” katanya.
Ia juga menganalogikan guyub dengan pengelolaan zona dalam organisasi. Zona-zona ini tidak dimaknai sebagai sekat yang memisahkan, melainkan sebagai ruang interaksi yang tetap berorientasi pada tujuan besar institusi.
“Guyub adalah harmoni dalam keberagaman,” jelasnya.
Dengan semangat guyub yang ia usung, Dr. Ahmad Imron kini melangkah maju sebagai bakal calon Dekan FISIP UB periode 2025-2030. Visi yang ia bawa adalah menciptakan organisasi yang inklusif, kolaboratif, dan berorientasi pada kesejahteraan bersama.
“Guyub bukan hanya untuk internal organisasi, tapi juga untuk membawa manfaat bagi masyarakat yang lebih luas,” pungkasnya.(din)