Kanal24, Malang – Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya (FIB UB) kembali menjadi tuan rumah penyelenggaraan International Seminar on Cultural Sciences (ISCS) IV pada Senin (22/09/2025). Acara yang berlangsung di Aula Gedung B lantai 2 ini menghadirkan berbagai pemikir, peneliti, seniman, dan praktisi budaya dari dalam maupun luar negeri. Seminar internasional ini merupakan agenda tahunan yang digagas Departemen Antropologi dan Seni FIB UB, sekaligus melanjutkan tradisi akademik yang telah berjalan sejak tiga tahun sebelumnya.
Tahun ini, seminar diselenggarakan selama dua hari dengan format plenary session di pagi hari dan panel session pada siang hingga sore hari. Seluruh sesi dilaksanakan secara hybrid sehingga memungkinkan partisipasi lebih luas dari peserta mancanegara. Tidak hanya dari kawasan Asia Tenggara, peserta juga hadir dari Eropa dan Afrika. Hal ini menegaskan posisi ISCS sebagai forum akademik global yang semakin diakui.
Baca juga:
Divisi K3L UB Latih Mahasiswa Siap Hadapi Risiko
Apresiasi dan Harapan Panitia
Ketua Panitia, Irsyad Martias, Ph.D., menyampaikan bahwa keberhasilan seminar kali ini tidak lepas dari dukungan banyak pihak, termasuk kolaborasi dengan Fakultas Creative Arts Universiti Malaysia Sarawak (UNIMAS). “Tahun lalu ISCS digelar di UNIMAS. Untuk tahun keempat ini, giliran Universitas Brawijaya menjadi penyelenggara. Kami mengundang pembicara utama dari Taiwan, Malaysia, dan juga akademisi dari dalam negeri. Peserta mayoritas berasal dari Asia Tenggara, namun kami juga mencatat kehadiran peserta dari Eropa serta Afrika,” ungkapnya.
Menurut Irsyad, seminar ini tidak hanya sebatas forum pertukaran ide, melainkan wadah untuk mencari solusi dari disrupsi sosial budaya yang tengah berlangsung di berbagai belahan dunia. “Diskusi ilmiah ini melibatkan akademisi, seniman, dan praktisi. Saya yakin pembahasan akademik yang dipadukan dengan ekspresi seni dapat memperkuat kepercayaan diri kita dalam menghadapi tantangan zaman,” tambahnya. Tema besar yang diangkat, yakni kesinambungan seni dan budaya dalam merespons perubahan global, menjadi relevan dengan kondisi sosial saat ini.
Kolaborasi Internasional dan Pengembangan Ilmu
Wakil Dekan I FIB UB, Dr. Yusri Fajar, S.S., M.A., menegaskan pentingnya ISCS sebagai forum intelektual yang rutin dilaksanakan. Ia menilai kegiatan ini mampu memperluas jaringan akademik dan memperkuat kontribusi universitas di tingkat internasional. “Forum ini membuka pintu kolaborasi antara UB dengan para pakar lintas negara. Tidak hanya sekadar berbagi gagasan, tetapi juga membangun kerja sama nyata dalam bentuk riset, publikasi, hingga pengabdian kepada masyarakat,” jelasnya.
Lebih lanjut, Yusri menekankan bahwa perkembangan teknologi digital dan kecerdasan buatan (AI) perlu diintegrasikan dalam kajian budaya dan seni. Menurutnya, era digital telah menghadirkan tantangan baru, namun juga peluang bagi inovasi. “Kreativitas dan inovasi hari ini menuntut kita untuk mengaitkan studi budaya dan seni dengan teknologi. Inilah mengapa seminar seperti ISCS menjadi penting, karena mampu menyatukan perspektif tradisional dan modern,” ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa FIB UB terus berkomitmen menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi melalui penelitian, pengajaran, dan pengabdian masyarakat. Hasil-hasil kajian akademik diharapkan tidak berhenti pada tataran teori, tetapi mampu diaplikasikan secara nyata di masyarakat. Hal itu, kata Yusri, dapat diwujudkan melalui program pengabdian, monitoring PKM, maupun kolaborasi dengan pemangku kepentingan lain seperti pemerintah desa, perusahaan, dan lembaga sosial.
Seni, Budaya, dan Diplomasi Identitas
Salah satu aspek yang disorot dalam ISCS IV adalah peran seni dan budaya sebagai instrumen diplomasi. Yusri menekankan bahwa kesamaan identitas budaya di Asia Tenggara dapat menjadi jembatan memperkuat solidaritas antarbangsa. “Negara-negara di kawasan ini memiliki banyak kesamaan budaya. Dengan mengkaji persinggungan tersebut, kita bisa menemukan benang merah yang memperkaya identitas bersama,” tuturnya.
Menurutnya, kajian komparatif antarbudaya sangat penting agar fenomena budaya tidak dilihat secara sempit, melainkan dalam lingkup yang lebih luas. Kajian semacam ini diyakini dapat meminimalisir potensi konflik yang sering dipicu oleh politik atau ideologi. “Budaya dan seni memiliki kekuatan diplomasi yang bisa menjadi penengah dalam perbedaan. Dari sini kita belajar bahwa seni dan budaya tidak hanya milik ruang akademik, tetapi juga punya fungsi sosial dan politis,” tambahnya.
Arah ke Depan
Dengan dukungan partisipasi internasional yang kian luas, ISCS IV dipandang sebagai momentum untuk memperkuat kontribusi Universitas Brawijaya di tingkat global. Publikasi dari hasil seminar akan menjadi salah satu fokus utama agar pemikiran-pemikiran yang lahir dari forum ini dapat diakses oleh masyarakat luas.
Baca juga:
FTP UB Jalani Verifikasi Zona Integritas WBBM
Selain itu, FIB UB berharap mahasiswa dapat lebih aktif terlibat dalam eksplorasi kajian mutakhir. Melalui interaksi dengan ilmuwan dari luar negeri, mahasiswa memperoleh kesempatan memperluas wawasan dan berpartisipasi dalam dialektika ilmiah global. “Harapan kami, FIB UB dan UB secara umum semakin going global, tidak hanya membatasi kerja sama di Asia, tetapi juga merambah Eropa dan benua lain,” pungkas Yusri.
Dengan demikian, ISCS IV bukan hanya forum akademik semata, melainkan juga upaya strategis memperkuat jalinan kerja sama lintas negara, mengembangkan kajian seni dan budaya dalam perspektif global, serta menjadikan seni sebagai sarana diplomasi dan solusi atas tantangan zaman. (nid/dpa)
