oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Perspektif teologis memahami bahwa salah satu sebab terjadinya bencana adalah dosa-dosa manusia. Sehingga bencana diturunkan oleh Allah swt dengan maksud mengingatkan manusia atas kesalahan dan agar segera kembali ke jalanNya. Allah swt Yang Maha Pengasih sebagai penguasa kehidupan yang berhak menurunkan dan mencabut bencana memberikan solusi bagaimana agar dapat keluar dari bencana, sebagaimana dalam FirmanNya :
وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمۡ وَأَنتَ فِيهِمۡۚ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ مُعَذِّبَهُمۡ وَهُمۡ يَسۡتَغۡفِرُونَ
Tetapi Allah tidak akan menghukum mereka, selama engkau (Muhammad) berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan menghukum mereka, sedang mereka (masih) memohon ampunan. (QS Al-Anfal, Ayat 33)
Ayat tersebut berkenaan dengan tantangan dari Abu Jahl bin Hisyam sebagai penentang utama dakwah Rasulullah meminta untuk disegerakan adzab dengan nada sindiran sebagai bentuk pelecehan. Sebagaimana diriwayatkan oleh imam Bukhari dari Anas, ia berkata, “Abu Jahl bin Hisyam mengatakan, ‘…Ya Allah, jika (Al-Qur’an) ini benar (wahyu) dari Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih.’ maka turunlah ayat 33 surat al Anfal ini. Sementara Ibnu Jarir juga meriwayatkan dari Ibnu Abza bahwa Rasulullah masih berada di Mekah ketika Allah menurunkan ayat 33, “Tetapi Allah tidak akan menghukum mereka, selama engkau (Muhammad) berada di antara mereka….” Setelah beliau hijrah ke Madinah, Allah menurunkan firman-Nya, “.. .Dan tidaklah (pula) Allah akan menghukum mereka, sedang mereka (masih) memohon ampunan.” Sisa kaum muslimin yang masih berada di Mekah senantiasa beristigfar, dan setelah mereka berhijrah Allah menurunkan firman-Nya di ayat 34, “Dan mengapa Allah tidak menghukum mereka ….” Lalu Dia memerintahkan penaklukan Mekah, dan itulah azab yang dijanjikan-Nya kepada mereka.
Berkenaan dengan hal demikian dapatlah dipahami bahwa salah satu faktor utama tidak diturunkannya adzab Allah atas suatu kaum adalah karena keberadaan Nabi Muhammad saw sebagai seorang Nabi kekasih Allah swt, penghulu para Nabi. Bagaimana mungkin kekasih akan menyakiti hati kekasihnya sementara sang kekasih masih ada di tengah-tengah kaum sekalipun kaum itu membenci dan menolak agamaNya. Demikian pula bagaimana mungkin Allah swt akan menyakiti suatu kaum yang mencintai kekasihNya sementara nama sang kekasihnya selalu diucapkan dan didengung-dengungkan oleh kaum itu. Padahal Allah swt sendiri selalu mengagung-agungkan nama kekasihnya bersama para malaikatnya dengan senantiasa bershalawat kepadanya. Inilah sebuah penghormatan yang sangat tinggi kepada Rasulullah Muhammad saw.
إِنَّ ٱللَّهَ وَمَلَٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِيِّۚ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ صَلُّواْ عَلَيۡهِ وَسَلِّمُواْ تَسۡلِيمًا
Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya. (QS. Al-Ahzab, Ayat 56).
Berdasarkan argumentasi (dalil) diatas dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa shalawat kepada Nabi Muhammad adalah salah satu cara menangkal bencana dan adzab Allah swt. Maka dari sini dipahami pula bahwa turunnya adzab bencana adalah karena disebabkan dosa dan kedhaliman manusia, sementara dengan banyak membaca shalawat maka dosa-dosa diampuni. Kesimpulannya, jika demikian maka memperbanyak membaca shalawat kepada Nabi akan menjadi jalan bagi diangkatnya adzab dan bala bencana ataupun musibah yang terjadi. Hal ini sesuai pula dengan sabda Nabi :
Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُكْثِرُ الصَّلَاةَ عَلَيْكَ فَكَمْ أَجْعَلُ لَكَ مِنْ صَلَاتِي ؟ فَقَالَ : مَا شِئْتَ . قَالَ قُلْتُ الرُبُعَ ؟ قَالَ : مَا شِئْتَ فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ . قُلْتُ النِّصْفَ ؟ قَالَ : مَا شِئْتَ فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ . قَالَ قُلْتُ فَالثُّلُثَيْنِ ؟ قَالَ : مَا شِئْتَ فَإِنْ زِدْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ . قُلْتُ أَجْعَلُ لَكَ صَلَاتِي كُلَّهَا ؟ قَالَ : إِذًا تُكْفَى هَمَّكَ وَيُغْفَرُ لَكَ ذَنْبُكَ
“Saya berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh saya telah memperbanyak bershalawat kepadamu, lalu seberapa banyak saya jadikan shalawat saya kepadamu di dalam doa saya ?, beliau menjawab: “Silahkan saja”, ia berkata: “seperempat ?”, beliau menjawab: “Silahkan saja, dan jika kamu tambah maka akan lebih baik”. Saya berkata: “setengahnya ?”, beliau menjawab: “Silahkan saja, dan jika kamu tambah maka akan lebih baik bagimu”. Saya berkata: “Dua pertiga ?”. beliau menjawab: “Silahkan saja, dan jika kamu tambah maka akan lebih baik”. Saya berkata: “Akan saya tujukan shalawatku kepadamu pada semua waktu”. Beliau menjawab: “Kalau begitu, maka akan dicukupkan semua keinginanmu, dan dosamu akan diampuni”. (HR. Tirmidzi)
Demikian pula ditegaskan dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Hibban bin Munqidz bin Amr Al Anshari , menceritakan bahwa bahwa ada seorang laki-laki berkata :
يا رسول الله أجعل ثلث صلاتي عليك قال نعم إن شئت . قال : الثلثين ؟ قال : نعم . قال : فصلاتي كلها ؟ قال رسول الله : إذا يكفيك الله ما همك من أمر دنياك وآخرتك
“Wahai Rasulullah, saya menjadikan 1/3 shalawat saya kepadamu, beliau menjawab: “Ya, silahkan saja”, ia berkata: “2/3 nya ?”. Beliau menjawab: “Ya”. Ia berkata: “Shalawat saya semuanya ?”, Rasulullah menjawab: “Kalau begitu, Allah akan mencukupkanmu dari semua kerisauannya dari masalah dunia dan akhiratmu”.
Dengan demikian salah satu cara untuk menyingkap kerisauan dan kegelisahan sebab adanya adanya suatu musibah atau bencana termasuk adanya wabah pandemi covid-19 yang telah merenggit banyak nyawa ummat manusia di seluruh dunia serta membuat seluruh dunia berada dalam kerisauan yang amat sangat akibat wabah pandemi ini maka solusinya adalah dengan memperbanyak shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bacaan shalawat adalah ibarat seseorang yang merengek dan merayu seorang kekasih melalui apa yang sangat dicintainya. Memperbanyak baca shalawat adalah cara manusia dalam merayu Allah swt agar menyingkapkan bencana yang sedang diturunkanNya dengan banyak menyebut nama sang kekasihNya. Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad.
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB