Kanal 24, Malang — Kesehatan gigi dan mulut masih menjadi tantangan besar di Indonesia, khususnya pada kelompok anak-anak. Hal ini disampaikan oleh Dr. Merlya, drg., MMRS, salah satu pembicara dalam ajang KRONOLOGI BSMD 2025 yang digelar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Brawijaya (FKG UB) di Ijen Suites, Malang, Sabtu (30/8). Menurutnya, pencegahan sejak dini menjadi kunci utama untuk menurunkan angka kejadian karies yang hingga kini masih cukup tinggi.
Dalam paparannya, Dr. Merlya menjelaskan bahwa masalah karies gigi sering kali dianggap sepele, padahal berdampak besar terhadap kualitas hidup, terutama bagi anak-anak usia sekolah. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat angka kejadian karies pada anak usia 6 hingga 12 tahun mencapai 51 persen. Angka ini berarti lebih dari separuh anak di Indonesia mengalami kerusakan gigi permanen di usia yang seharusnya menjadi masa pertumbuhan optimal.
Baca juga:
Open House UB 2025 Angkat Tema Pendidikan

“Fokus kita adalah mencegah sebelum karies terjadi, terutama di usia anak-anak 6 sampai 12 tahun. Itu usia krusial karena gigi permanen mulai tumbuh cukup banyak. Kalau bisa dicegah sejak awal, angka kejadian karies di Indonesia tidak akan setinggi sekarang,” ujar Dr. Merlya.
Harapan Indonesia Bebas Karies 2030
Sebagai dokter gigi yang bergerak di bidang preventif, Dr. Merlya memiliki visi besar untuk mewujudkan Indonesia bebas karies pada tahun 2030. Target tersebut selaras dengan upaya global untuk meningkatkan kesehatan gigi dan mulut masyarakat. Menurutnya, langkah pencegahan harus dilakukan secara berlapis, melibatkan keluarga, sekolah, dan tenaga kesehatan.
Ia menekankan bahwa pencegahan karies tidak hanya menjadi tanggung jawab anak atau orang tua, tetapi juga lingkungan sekolah. Anak-anak menghabiskan hampir 12 jam dalam sehari di sekolah, sehingga peran guru dan fasilitas pendidikan dalam menjaga kesehatan gigi sangat penting. “Ada tiga faktor yang harus kita perhatikan, yaitu anak itu sendiri, ibunya sebagai pendamping utama di rumah, dan sekolah yang menjadi tempat anak beraktivitas paling lama,” jelasnya.
Teknologi untuk Deteksi Dini
Di era digitalisasi, Dr. Merlya tengah mengembangkan sebuah metode health technology assessment untuk mendeteksi karies sejak dini. Metode ini diharapkan mampu memprediksi risiko karies anak hingga tiga tahun ke depan. Dengan demikian, intervensi pencegahan bisa lebih tepat sasaran dan terukur.
“Harapannya ada tools yang bisa digunakan untuk screening anak-anak sejak masuk sekolah dasar. Misalnya, anak kelas 1 SD diperiksa, lalu kita tahu risiko tiga tahun ke depan. Dari situ bisa ditentukan langkah pencegahan apa yang perlu dilakukan, baik untuk anaknya, ibunya, maupun sekolahnya,” ungkapnya.
Menurut Dr. Merlya, upaya deteksi dini ini akan jauh lebih efektif dibandingkan hanya melakukan pemeriksaan rutin setiap tahun. Dengan pendekatan tiga tahunan, tenaga medis bisa memberikan saran yang lebih komprehensif kepada keluarga, sekaligus melakukan evaluasi berkelanjutan terhadap kondisi gigi anak.
Peran Tenaga Kesehatan Primer
Selain teknologi, keberhasilan program pencegahan karies juga sangat bergantung pada keterlibatan tenaga kesehatan di lini primer, seperti puskesmas. Dr. Merlya mengapresiasi kinerja dokter gigi yang bertugas di puskesmas, karena mereka menjadi garda terdepan dalam edukasi kesehatan gigi masyarakat.
Meski demikian, ia berharap adanya peningkatan kapasitas dalam hal screening dan edukasi preventif. Dengan jumlah anak sekolah dasar yang begitu besar, kolaborasi antar tenaga medis, sekolah, dan orang tua menjadi sangat penting. “Kinerja rekan-rekan di puskesmas sudah sangat baik, tapi harapan saya lebih banyak lagi program screening yang terintegrasi dengan sekolah dasar. Jadi, setiap anak bisa mendapatkan pemeriksaan menyeluruh dan tindak lanjut yang tepat,” tambahnya.
Pentingnya Pola Pikir Preventif
Dr. Merlya juga menekankan pentingnya perubahan pola pikir masyarakat terkait kesehatan gigi. Selama ini, kebanyakan orang baru datang ke dokter gigi ketika sakit atau sudah mengalami kerusakan parah. Padahal, pola pikir preventif lebih menguntungkan karena bisa mengurangi biaya perawatan sekaligus meningkatkan kualitas hidup.
“Kita harus ubah pola pikir dari kuratif ke preventif. Lebih baik mencegah dengan perawatan sederhana sejak dini daripada mengobati saat sudah parah. Anak-anak dengan gigi sehat akan lebih percaya diri, lebih nyaman belajar, dan tentunya lebih produktif,” terangnya.
Kolaborasi dan Harapan ke Depan
Melalui forum internasional yang dihadiri para pakar dari berbagai negara, Dr. Merlya berharap ada sinergi yang lebih kuat dalam upaya pencegahan karies. Kolaborasi riset, pengembangan teknologi, hingga program edukasi lintas negara bisa menjadi jalan untuk mempercepat tercapainya target Indonesia bebas karies 2030.
Baca juga:
FKG UB Edukasi Lansia Malang Pentingnya Kesehatan Mulut
“Dengan keterlibatan semua pihak, saya yakin target 2030 itu bukan hal yang mustahil. Kuncinya adalah konsistensi dan kesadaran kita semua bahwa kesehatan gigi anak-anak adalah investasi jangka panjang untuk masa depan bangsa,” pungkasnya.
Acara KRONOLOGI BSMD 2025 sendiri menjadi momentum penting bagi FKG UB untuk menghadirkan solusi nyata di bidang kedokteran gigi. Bukan hanya sekadar seminar, tetapi juga ruang untuk berbagi pengetahuan, teknologi, dan inovasi demi terciptanya masyarakat yang lebih sehat. (han/tia)