KANAL24, Malang – Diberlakukannya physical distancing yang dilanjut dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah di Indonesia seringkali menimbulkan masalah kesehatan mental. Gejala-gejala terkait kecemasan, hopeless (kurangnya semangat), panik, timbul akibat pembatasan interaksi ini.
Psikolog Universitas Brawijaya, Cleoputri Yusainy, M.Psi., Ph.D saat menjadi pemateri pada Diskusi Daring IKA UB, Rabu (13/5/2020) memberikan tips supaya kesehatan mental di saat pandemi Covid-19 bisa tetap terjaga.
Emosi bisa dikelola, namun membutuhkan latihan. Ada proses regulasi emosi yang bisa dilakukan yakni dengan mengubah situasi adalah tindakan atau strategi untuk menghindar dari tempat atau objek yang dapat memunculkan emosi. Mengalihkan perhatian dari kondisi yang menimbulkan emosi, mengubah sudut pandang cara berpikir terhadap situasi yang dialami, menekan perasaan, dan mindfulness (sadar penuh hadir utuh) artinya fokus pada apa yang sedang dilakukan saat ini dan melakukan yang terbaik.
Kemudian, salah satu hal yang sering dirasakan saat berada di rumah saja adalah kehilangan orientasi waktu. Sebagian orang sudah tidak mengatakan waktu Indonesia barat atau timur tetapi menggunakan corona time. Artinya, sudah berapa lama menjalani PSBB. Hal ini dapat diatasi dengan melakukan variasi kegiatan di rumah. Terlalu lama berada didepan TV / laptop / smartphone dengan posisi duduk yang sama menjadikan seakan-akan waktu berjalan lambat. Sehingga, variasi kegiatan dengan aktifitas fisik sangat dianjurkan supaya orientasi waktu dan emosi panik yang dihasilkan lebih terkelola.
Emosi panik juga bisa terjadi akibat adanya pembatasan fisik. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas dari interaksi dengan sesama. Situasi saat ini, memaksa manusia untuk berinteraksi secara daring atau online, padahal tubuh manusia tidak serta merta dapat langsung menyesuaikan diri. Sehingga, tubuh merasa lebih cepat lelah dibanding dengan interaksi secara langsung. Penggunaan sosial media (Instagram, YouTube, Facebook, Twitter) secara berlebihanpun juga dapat menimbulkan perbandingan sosial secara negatif. Alangkah lebih baik, apabila penggunaan sosial media dilakukan sesuai porsi dan dengan bijak.
“Lebih baik bila menggunakan sosial media untuk mengaktifkan area-area reward atau kegiatan kooperatif seperti pengumpulan donasi, kalau di psikologi dan sosial dapat dilakukan telekonseling, sehingga dampak PSBB tidak terlalu melelahkan tubuh,” katanya.
Atur porsi optimisme, semakin kita memiliki rasa optimisme yang berlebihan maka ketika nanti hasilnya berbanding terbalik, maka muncul depresi dan marah. Hati-hati dengan bias optimistik, seperti munculnya pemikiran “orang lain mungkin tertular virusnya tapi tidak dengan saya”. Cara mengatasi ini adalah dengan menerapkan mindfulness yakni mencoba melakukan yang terbaik saat ini sehingga hasil yang nanti didapatkan akan berbanding lurus.(meg)