Kanal24, Malang – Wakil Menteri Pertanian RI, Sudaryono, B.Eng., M.M., M.B.A., menjadi pembicara pada hari ketiga Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB) Universitas Brawijaya 2025, Rabu (13/08/2025). Membawakan materi bertajuk “Mimpi Anak Negeri Membentuk Kepemimpinan dari Keterbatasan”, ia memulai dengan menyapa ribuan mahasiswa baru yang memenuhi ruangan dengan antusias. Dalam kesempatan tersebut, Sudaryono membagikan kisah hidupnya yang penuh perjuangan dan pesan-pesan motivasi untuk generasi muda.
“Saya ingin kalian percaya, keterbatasan bukan alasan untuk berhenti bermimpi,” ujarnya.
Lahir dan dibesarkan di sebuah desa di Grobogan, Jawa Tengah, Sudaryono tumbuh dalam keluarga sederhana. Orang tuanya bekerja sebagai petani dan tidak memiliki ijazah sekolah dasar, meski mampu membaca dan menulis. Dari keluarganya, ia mendapat pelajaran penting bahwa meskipun berada dalam keterbatasan, seseorang tidak boleh terlihat miskin atau rendah diri di hadapan orang lain.
Baca juga:
Mahfud MD: Mahasiswa Jangan Jadi Robot, Aktiflah Berorganisasi

“Orang tua saya selalu bilang, kita boleh saja tidak punya apa-apa, tapi jangan sampai terlihat rendah di hadapan orang lain,” kenangnya. Prinsip ini terbukti menjadi fondasi yang menguatkan langkahnya di kemudian hari.
Perjalanan akademiknya dimulai di sekolah desa hingga akhirnya lolos ke SMA Taruna Nusantara. Saat itu, ia hanya mendapat uang saku sebesar Rp50.000 dari orang tuanya, dengan pesan khusus bahwa uang tersebut hanya boleh digunakan saat diajak jajan teman. Tujuannya sederhana namun bermakna: agar ia tidak terlihat berbeda atau terpinggirkan secara ekonomi di tengah pergaulan. Pesan ini, menurutnya, adalah bentuk penanaman mental tahan banting sejak dini.
Setelah lulus SMA pada tahun 2000, Sudaryono berhasil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi di Jepang. Tantangan besar datang saat ia menyadari tidak menguasai bahasa Jepang sama sekali. Namun, berbekal tekad dan kerja keras, ia mampu lulus ujian bahasa Jepang level 2 hanya dalam setahun, dan setahun berikutnya meraih level tertinggi. Pencapaian ini diiringi prestasi akademik gemilang: menjadi lulusan terbaik di jurusan Mechanical System Engineering di antara 39 mahasiswa Jepang lainnya.
“Kalau saya bisa mempelajari bahasa Jepang dari nol sampai level tertinggi dalam dua tahun, kalian pun bisa menguasai apa pun kalau benar-benar serius,” tegasnya.
Dari pengalamannya, Sudaryono merumuskan lima prinsip yang ia sampaikan kepada mahasiswa baru. Pertama, mumpung masih muda, belajarlah apa saja. Ia menegaskan bahwa kemampuan belajar di usia muda sangat tinggi, sehingga kesempatan ini harus dimanfaatkan untuk menguasai berbagai keterampilan. Menurutnya, belajar bahasa, keterampilan teknis, maupun soft skill akan menjadi modal besar di masa depan.
“Jangan batasi diri pada jurusan yang kalian ambil. Semakin banyak yang kalian kuasai, semakin besar peluang sukses,” katanya.
Kedua, syukuri posisi dan kesempatan yang dimiliki. Ia mengingatkan bahwa hanya sebagian kecil dari jutaan anak muda di Indonesia yang bisa diterima di UB. Oleh karena itu, mahasiswa harus memandang posisi mereka sebagai anugerah yang harus dimaksimalkan, bukan sekadar formalitas untuk menempuh pendidikan tinggi.
Ketiga, tekan diri untuk berusaha dengan “The Power of Kepepet.” Ia mencontohkan kebiasaan mahasiswa yang baru mengerjakan tugas menjelang tenggat waktu, yang justru memunculkan kreativitas dan produktivitas tinggi. Menurutnya, situasi mendesak dapat dimanfaatkan untuk memaksa diri bekerja lebih keras dan fokus.
Keempat, yakin bahwa semua orang memiliki potensi yang sama. Menurut Sudaryono, mahasiswa di seluruh dunia memiliki tingkat kemampuan dasar yang setara. Perbedaan hasil terletak pada seberapa keras seseorang bekerja, seberapa efektif metode belajar yang digunakan, dan seberapa besar pengorbanan yang dilakukan. Ia sendiri saat kuliah di Jepang menerapkan aturan untuk belajar lima kali lebih keras dibanding mahasiswa lokal agar bisa bersaing.
“Saya percaya, yang membedakan kita dengan orang lain hanyalah usaha dan pengorbanan,” tegasnya.
Kelima, pengorbanan adalah harga yang harus dibayar untuk meraih sukses. Sudaryono mengaku selama sekolah hingga lulus kuliah tidak pernah berpacaran, karena fokus pada pendidikan. Ia menyebutnya sebagai bentuk “tirakat” atau disiplin diri untuk mencapai tujuan besar. Menurutnya, tidak mungkin seseorang yang menghabiskan lebih banyak waktu bermain bisa melampaui prestasi orang yang menghabiskan lebih banyak waktu belajar.
Dalam sesi interaktif, Sudaryono mengajak beberapa mahasiswa untuk maju dan berbagi cerita. Salah satunya, Lilik, menceritakan pelajaran hidup dari ayahnya yang pantang menyerah, tidak gengsi, dan tetap jujur meskipun sering mengalami penipuan saat merintis usaha. Sudaryono mengapresiasi keberanian Lilik, bahkan memberinya uang dari gajinya sendiri sebagai bentuk penghargaan atas semangat dan kejujuran yang ditunjukkan. “Kejujuran itu mahal. Kalau kita memegangnya, rezeki akan datang dengan cara yang tak terduga,” ujarnya sambil menyerahkan amplop.
Baca juga:
UB Tekankan Digitalisasi, AI, dan Kepedulian Lingkungan di PKKMB 2025
Cerita lain datang dari Tegar, mahasiswa asal Banyuwangi yang memiliki usaha kursus bahasa Inggris meski mengaku kemampuan bahasa Inggrisnya sendiri masih terbatas. Dari Tegar, Sudaryono menekankan pentingnya keberanian untuk memulai, meski dengan keterbatasan. Ia mengajak mahasiswa lain untuk mengambil inspirasi bahwa peluang usaha tidak selalu harus dimulai dengan modal besar atau kemampuan sempurna.
Menutup sesinya, Sudaryono mengajak seluruh mahasiswa untuk membuang rasa takut dan gengsi. Ia menegaskan bahwa keberanian mengambil risiko, fokus pada tujuan, dan komitmen pada pengorbanan adalah kunci menuju kesuksesan.“Jangan gengsi, jangan takut gagal, dan ingatlah bahwa yang bisa mengangkat diri kita hanyalah diri kita sendiri,” tutupnya. (nid)