Kanal24, Malang – Kesetaraan gender tidak cukup diukur dari angka. Dalam forum Catch and Shoot 2025 bertema Dari Kebijakan ke Aksi: Implementasi Kesetaraan Gender, Pakar Hukum Perdata FH UB Syahrul Sajidin, S.H., M.H., menegaskan bahwa perjuangan menuju kesetaraan sejati harus melampaui batas kuantitatif dan menyentuh aspek kualitas serta peran substantif perempuan dalam kehidupan publik.
Berbicara di hadapan peserta di Auditorium Universitas Brawijaya, Syahrul menilai bahwa kebijakan afirmatif seperti kuota perempuan di parlemen memang penting, namun bukan satu-satunya indikator keberhasilan.
“Kita tidak boleh berhenti pada angka keterwakilan. Kesetaraan yang sesungguhnya adalah ketika perempuan memiliki peran kualitatif—menjadi pengambil keputusan, bukan sekadar pelengkap,” ujarnya (23/10/2025).
Baca juga : Catch and Shoot 2025, P3 EM UB Dorong Implementasi Kesetaraan Gender
Menurutnya, konstruksi hukum di Indonesia sudah cukup kuat dalam mengakomodasi prinsip kesetaraan, namun tantangan sesungguhnya kini terletak pada pelaksanaan dan budaya sosial. Ia mencontohkan bagaimana dunia kerja masih belum sepenuhnya ramah terhadap perempuan, terutama bagi mereka yang juga menjalankan peran sebagai ibu.

“Ruang laktasi kini sudah menjadi kewajiban di ruang publik. Tapi belum banyak perusahaan yang menyediakan ruang penitipan anak bagi tenaga kerja perempuan. Ini tantangan nyata yang harus dijawab,” katanya.
Syahrul juga menyoroti isu motherless generation dan fatherless society, yang menurutnya lahir dari kebijakan publik yang belum sensitif terhadap kebutuhan keluarga dan tumbuh kembang anak. Ia menilai, kebijakan masa depan perlu berpihak pada keseimbangan peran orang tua tanpa membatasi ruang profesional perempuan.
“Kesetaraan bukan soal siapa lebih kuat atau lebih lemah, tapi bagaimana kita bisa saling menghormati peran. Ini tentang harmoni, bukan kompetisi,” ungkapnya.
Dalam pandangannya, masyarakat perlu memahami bahwa kesetaraan gender tidak berarti kesamaan mutlak, tetapi kesetaraan dalam kesempatan, kapasitas, dan penghargaan terhadap peran yang berbeda.
Syahrul menekankan pentingnya gender sensitivity di kalangan mahasiswa sebagai generasi pembuat kebijakan masa depan. Ia berharap kegiatan seperti Catch and Shoot 2025 menjadi jembatan antara teori, kebijakan, dan tindakan konkret di masyarakat.
“Kalau dulu perjuangan kita soal akses, sekarang perjuangannya soal kualitas. Kita harus melangkah ke arah itu,” tegasnya.
Melalui pendekatan diskusi publik, pameran seni, dan simulasi sosial, kegiatan ini mengajak peserta untuk memahami kesetaraan bukan sebagai slogan, melainkan komitmen bersama membangun tatanan sosial yang saling menghargai.
“Kesetaraan adalah saling respect, bukan saling superior. Itu makna yang harus terus dihidupkan,” tutup Syahrul.(Din/Dht)










