oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Setelah selama sebulan setan dibelenggu di bulan Ramadhan, yaitu dedengkotnya setan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa “Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan dibelenggu.” Sekalipun setan-setan prajurit masih saja terus menggoda manusia. Bukti jika dedengkotnya setan di belenggu selama ramadhan adalah dengan banyaknya kaum muslimin yang merasa ringan dan gampang dalam menjalankan perintah Allah swt serta mengurangi berbuat maksiat. Disaat Allah memerintahkan berpuasa maka dengan ringan kaum mukminin menjalankannya, sekalipun pada sebagiannya ada yang melaksanakan secara terpaksa. Disaat Allah swt memerintahkan untuk menghiasi malam-malam ramadhan dengan beribadah dan taqarrub kepadanya dengan qiyamu ramadhan maka dengan gampang mukminin menjalaninya dengan mendatangi masjid-masjid untuk mengikuti shalat teraweh sekalipun pada masa pandemi ini tidak sedikit masjid yang tutup. Disaat Allah swt memerintahkan bangun dipenghujung malam untuk melaksanakan ibadah sahur, maka kaum muslimin dengan patuh menjalaninya sekalipun mungkin pada awalnya terasa berat. Disaat Allah memerintahkan untuk banyak membaca Al Quran, maka di bulan Ramadhan betapa banyak kaum muslimin berlomba-lomba untuk membaca dan mengkhatamkan alQuran. Fenomena ini tentu sulit kita jumpai diluar bulan Ramadhan.
Demikian pula disaat Allah memerintahkan untuk banyak berderma selama bulan ramadhan, maka dengan ringan hati kaum muslimin memenuhi perintah itu, sehingga kita bisa melihat banyaknya fenomena kemurahan hati yang ditampilkan oleh kaum muslimin melebihi daripada selain bulan Ramadhan. Makanan takjil berlimpah, berbagi sahur, berbagi rezeqi dibulan Ramadhan terasa sangat mudah dibandingkan bulan lainnya. Bahkan disaat diperintahkan untuk mengeluarkan hartanya, baik untuk zakat, infaq dan sedekah, kaum muslimin dengan ringan hati melaksanakannya. Begitu pula eskalasi kemaksiatan di bulan Ramadhan berkurang dibandingkan bulan lainnya. Setidaknya semua orang menahan diri untuk tidak berbuat dosa selama di bulan Ramadhan, mulai dari ucapan maupun tindakan. Semua orang menahan diri untuk tidak berucap kasar, kotor dan bohong dengan alasan mereka sedang berpuasa. Semua ini membuktikan bahwa pada bulan Ramadhan syetan dibelenggu sehingga kaum muslimin dengan mudah mengerjakan perintah Allah sebab penghalang ketaatannya sudah mulai berkurang.
Namun, disaat Ramadhan telah berakhir, dan telah berganti masuk ke bulan syawal, maka syetan telah bersiap beraksi kembali. Syetan akan mengumpulkan kembali energinya untuk mengajak dan membujuk manusia agar kembali pada kebiasaan semula sebagaimana sebelum ramadhan. Syetan akan mengajak kembali untuk berbicara bohong, mengadu domba, saling melecehkan, saling berselisih dan saling bertikai antar sesama manusia.
Syetan akan memprovokasi kembali untuk bermalas-malasan dalam beribadah, sehingga selesai Ramadhan, maka seketika pula masjid kembali lagi sepi. Jamaah shalat kembali sepi, tidak ada lagi qiyamul lail, tidak ada lagi tadarus alQuran, tidak ada lagi saling berbagi makanan, infaq sedekah. Jiwa yang tadinya murah dan gampang berbagi, akan diprovokasi untuk kembali berlaku kikir, bisa jadi dengan alasan pandemi karena pekerjaan dan penghasilan susah atau alasan lainnya yang akan dicari-cari oleh syetan untuk dijadikan pembenaran atas kekikiran dirinya.
Demikian pula dalam melaksanakan qiyamullail, syetan akan berupaya keras untuk menggagalkan niat bangun di tengah malam dalam mengerjakan shalat malam. Mungkin akan dicarikan alasan bahwa sudah tidak ada lagi teraweh, tidak ada teman untuk shalat bersama atau sudah tidak ada lagi momentum sahur. Sehingga amaliyah kebaikan selama ramadhan akan hilang seketika bersamaan dengan perginya bulan Ramadhan.
Seakan tidak ada bekas sama sekali dari apa yang telah dilakukannya selama bulan ramadhan tentang upaya dirinya dalam menahan hawa nafsu dan qiyamu ramadhan serta amaliyah kebaikan lainnya. Mengapa demikian ?, hal ini karena belenggu syetan telah dibuka kembali dan mereka sudah mulai beraksi kembali. Upaya syetan yang sangat bersemangat dan teguh dalam menggoda dan menggelincirkan manusia ini karena syetan telah berkomitmen untuk itu semenjak dikeluarkan dari surga. Sebagaimana diinformasikan oleh Allah swt :
قَالَ رَبِّ بِمَآ أَغۡوَيۡتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَأُغۡوِيَنَّهُمۡ أَجۡمَعِينَ.
Ia (Iblis) berkata, “Tuhanku, oleh karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya, (QS. Al-Hijr, Ayat 39).
Namun, setangguh-tangguhnya syetan dalam menggoda manusia. Hanya ada satu kelompok manusia yang syetan tidak akan mampu dan berhasil dalam menjalankan misinya. Siapakah mereka ?. Dialah orang-orang yang disebut oleh Allah sebagai seorang yang “Mukhlashin” yaitu orang yang istiqomah dalam menjalankan kebaikan dengan segala ujiannya hingga Allah swt memberikannya gelar “mukhlashin” (orang-orang yang diberi keikhlasan. Maf’ul (objek) dari perilaku ikhlas, artinya dia telah melewati jalan ikhlas sebagai pelaku ikhlas sejati (fa’il) yaitu mukhlishin.
Artinya jika seseorang ingin diselamatkan dari godaan tipu daya syetan dalam mengembalikan pada perilaku buruknya sebagaimana sebelum ramadhan maka ambillah jalan istiqomah atau beristiqomahlah dengan amaliyah kebaikan sebagaimana yang telah dilakukannya selama bulan ramadhan. Jika jalan istiqomah ini terus dipraktekkan maka tidak menutup kemungkinan gelar “mukhlashin” akan diperoleh, sekalipun untuk mendapatkannya sangatlah berat dan susah karena melewati jalan terjal dan berliku. Maka hanya komitmen dan kesungguhan niat serta upaya menyempurnakan ikhtiar yang akan mampu mengarahkannya (drive) menuju sukses.
Untuk itu, ambillah jalan istiqomah, teruskanlah amaliyah kebaikan yang sudah dilakukan di bulan Ramadhan, agar ada bekas dari puasa kita selama sebulan yang telah berlalu. Jangan beri kesempatan syetan untuk memenangkan pertarungan. Sekalipun syetan akan kembali terus beraksi. A’udzubillahi minasy syaithanirrojiim.
Penulis KH. Akhmad Muwafik Saleh pengasuh Pesma Tanwirul Afkar, Dosen FISIP UB dan sekretaris KDK MUI provinsi Jawa Timur