Hati Muhammad Arief al-Hudzair sempat goyah ketika pertama kali menginjakkan kaki di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Ia merasa sangat asing dengan suasana di daerah tersebut. Ditambah lagi, ia mendapat amanah untuk merintis pesantren Hidayatullah di sana.
“Saya juga tidak memiliki kawan ataupun kenalan di sini,” kata Ustadz Arief, ketika berbincang dengan Suara Hidayatullah di pesantren rintisannya, beberapa waktu lalu.
Sebagai kader Hidayatullah, Arief sudah tak asing lagi dengan penugasan dakwah di pelosok negeri. Salah satu tugasnya adalah merintis ataupun mengembangkan pesantren yang sudah ada. Bagi lelaki kelahiran Enrekang, 29 September 1985 ini, mengemban amanah itu tentu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
“Tetapi kemudian saya berpikir, kalau teman-teman saya bisa merintis di tempat lain, kenapa saya tidak?” ungkapnya tersenyum.
Keyakinannya semakin menguat setiap mengingat wejangan dari Allahuyarham Ustadz Abdullah Said (pendiri Hidayatullah). Pesan tersebut benar-benar terpatri dalam hatinya, bahwa Allah di tempatnya mengemban amanah itu sama dengan Allah yang menolong senior-seniornya di tempat dakwah masing-masing.
Namun memang bukan perkara mudah merintis pesantren di daerah yang baru ia kunjungi, belum ada tempat tinggal, terlebih lagi lahan untuk dibangun pesantren. Arief pun harus siap menghadapi berbagai rintangan sebagai lika-liku perjuangan.
Diusir oleh Pemilik Rumah
Pertama tiba di Kabupaten Barru, Arief bersama keluarganya menempati sebuah rumah kecil yang sejatinya sudah tidak layak huni.
“Tapi mau gimana lagi? Bekal biaya yang kami bawa tidak seberapa. Di situ kami tinggal beberapa bulan. Kemudian kami terpaksa pindah karena tiap turun hujan selalu banjir hingga selutut,” kenangnya membuka kisah.
Begitupun ketika Arief pindah ke kontrakan baru, seakan selalu ada masalah mulai dari tak sanggup membayar kontrakan, sampai diusir sepihak oleh pemilik rumah. “Kami masih dianggap orang asing di sini. Tetapi cobaan seperti itu justru menjadi motivasi bagi kami, sekaligus sebagai proses pendewasaan diri,” terang suami dari Nur Jannah ini.
Setidaknya lebih dari lima kali Arief pindah kontrakan. Tapi dari perpindahan itu, ia merasa bersyukur, karena tiap kali pindah kontrakan ia melakukan pendekatan dakwah—sekaligus menyampaikan keinginan untuk mendirikan pesantren kepada masyarakat setempat.
Upaya memperkenalkan diri seraya menyampaikan niat mendirikan pesantren itu membutuhkan waktu dan pendekatan yang cukup intens.
“Awalnya memang masyarakat mempertanyakan kenapa kami harus membangun pondok, karena di Barru ini sudah banyak pondok dari organisasi lain. Kami jawab, Hidayatullah itu ingin ikut bersinergi, hanya namanya yang berbeda. Hidayatullah masih dianggap sebagai organisasi baru di sini. Sebab itu kami ingin membuktikan kepada mereka, bahwa kami layak karena mampu memberikan sumbangsih untuk kebaikan umat,” jelasnya.
Dan pada akhirnya perjuangan Arief tidak sia-sia. Ia mendapat tanah wakaf untuk didirikan pesantren. Meski lokasi lahannya terletak di perbukitan batu. Tepatnya, di Jalan Pahlawan Bessi, Kelurahaan Sepee, Kecamatan Barru, Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan.
“Di tempat ini jarang sekali ada pohon-pohon yang tumbuh karena namanya juga gunung batu. Awal mulanya lokasi ini tak ada harganya di mata masyarakat sebab dianggap tidak bernilai. Tapi bismillah kami melangkah dengan pertolongan Allah, lokasi ini kita sulap menjadi pesantren,” terangnya.
Memecah Batu
Selepas memperoleh tanah wakaf, Arief semakin gencar melakukan silaturrahmi, entah dengan masyarakat, tokoh agama, maupun pemerintah setempat. Dakwah fardiyah seperti mengajar ngaji dan mengisi pengajian pun tidak kalah digalakkan. Alhamdulillah, sedikit demi sedikit dakwahnya mulai diterima.
Arief juga mulai merintis pesantren Hidayatullah di atas perbukitan batu tersebut. Walau di tengah keterbatasan, tapi tak sedikit pun menghentikan langkahnya dan ia justru amat bersyukur, karena bisa mengurangi biaya pembangunan pesantren dengan memanfaatkan batu-batu yang terdapat di lokasi tersebut.
Hampir setiap hari ia bersama santri memeras keringat untuk memecahkan batu dengan menggunakan alat manual. Secara fisik perjuangan Arief memang cukup melelahkan. Tapi dalam prinsip hidupnya, lelahnya seorang da’i adalah lillah. Kini di lahan berbatu tersebut sudah berdiri beberapa bangunan.
“Alhamdulillah, daerah yang dulu tak dianggap, kini sudah berdiri sebuah masjid dan asrama santri sementara. Lahannya juga sudah tertata rapi sehingga enak di pandang mata,” ujar ayah dari lima orang anak ini bersyukur.
Perjuangan Arief belum usai. Selain sibuk mengembangkan pesantren rintisannya, ia terus melebarkan sayap dakwahnya. Ia kerap mengisi pengajian serta memberi ceramah di berbagai masjid di wilayah Barru. Perlahan-lahan dakwahnya semakin diterima. Keberadaan pesantrennya pun banyak mendapat dukungan masyarakat.
“Semoga kami tetap diberikan keistiqamahan dalam perjuangan dakwah ini. Kami sangat yakin seberat apapun tantangan dakwah, selama kita istiqomah, Allah SWT pasti selalu menghadirkan pertolongan-Nya,” tutupnya.*Siraj el-Manadhy
Sumber : Baitul Mal Hidayatullah