Kanal24, Malang – Bagi banyak perempuan, terutama ibu rumah tangga dan ibu bekerja, tidur nyenyak bukan lagi kebutuhan dasar, melainkan kemewahan yang sulit dijangkau. Rutinitas harian yang melelahkan, beban tanggung jawab rumah tangga, dan minimnya dukungan sosial membuat para ibu menjadikan waktu istirahat sebagai pengorbanan pertama yang rela dilepas. Setelah seharian penuh mengurus anak, membersihkan rumah, memasak, atau menyelesaikan pekerjaan kantor, malam seharusnya menjadi waktu untuk beristirahat. Namun, kenyataannya, justru malam hari yang dimanfaatkan ibu-ibu untuk menuntaskan pekerjaan yang tertunda—dari melipat cucian hingga menyiapkan perlengkapan sekolah anak. Tak sedikit pula yang memanfaatkan momen sunyi malam sebagai waktu satu-satunya untuk diri sendiri.
Fenomena ini dikenal sebagai “begadang produktif”, di mana perempuan tetap terjaga bukan karena tak paham pentingnya tidur, tapi karena tak punya pilihan lain. Akibatnya, tidur cukup—yang direkomendasikan 7–9 jam per malam—menjadi barang langka.
Baca juga:
Takut Menonton Film Horor, Tapi Mengapa Kita Suka?
Begadang: Antara Cinta dan Kewajiban
Di balik mata lelah dan lingkar hitam yang menghiasi wajah banyak ibu, tersimpan kisah tentang cinta, dedikasi, dan pengabaian terhadap kebutuhan diri sendiri. Tidur bukan hanya tentang melepaskan lelah, tapi juga soal menjaga kesehatan mental dan fisik jangka panjang.
Sebuah survei dari University of California San Francisco (UCSF) yang dilakukan terhadap lebih dari 1.000 perempuan menikah dengan anak mengungkapkan bahwa:
- 60% perempuan hanya bisa tidur nyenyak satu atau dua malam dalam seminggu.
- 40% lainnya mengalami gangguan tidur hampir setiap malam.
Dampak kurang tidur tak bisa dianggap sepele. Para responden melaporkan gangguan seperti stres, kecemasan, depresi, kelelahan kronis, dan bahkan risiko keselamatan saat berkendara. Banyak yang merasa terlalu lelah untuk berhubungan intim, berolahraga, atau sekadar bersosialisasi.
Menurut Dr. Kathryn Lee, profesor di Departemen Keperawatan UCSF yang memimpin studi tersebut, banyak perempuan terbiasa mengorbankan tidur demi memenuhi berbagai peran dalam hidup mereka. Dari urusan pekerjaan, rumah tangga, hingga mendampingi anak, waktu untuk diri sendiri sering kali tak tersisa.
Ibu Pekerja: Ganda Peran, Ganda Beban
Ibu yang bekerja menghadapi tantangan lebih berat. Tak hanya dituntut tampil maksimal di kantor, mereka juga harus tetap menjalankan peran domestik. Akibatnya, waktu tidur mereka terpangkas drastis, rata-rata hanya sekitar 6 jam per malam. Masalahnya bukan pada keputusan ibu untuk bekerja, tapi pada sistem yang tidak mendukung. Dalam banyak kasus, perempuan adalah karyawan paling produktif dan terorganisir. Namun tanpa sistem pendukung yang memadai, beban ini menjadi tak seimbang.
Lee menyarankan perlunya dukungan dari perusahaan dan masyarakat dalam bentuk:
- Jam kerja fleksibel
- Fasilitas penitipan anak di tempat kerja
- Transportasi aman untuk mencegah kelelahan saat mengemudi
- Kafetaria dengan makanan siap bawa untuk keluarga
- Waktu untuk olahraga di sela jam kerja
Dukungan Rumah Tangga: Peran Pasangan Sangat Krusial
Tak hanya dari institusi, dukungan dari pasangan juga menjadi hal yang esensial. Pembagian tugas rumah tangga seperti memasak, membersihkan rumah, dan mengurus anak seharusnya tidak hanya menjadi beban ibu seorang. Tanpa kolaborasi dan pembagian peran yang adil, ibu akan terus terjebak dalam siklus kelelahan yang berulang. Banyak ibu merasa terpaksa memilih antara profesionalisme di tempat kerja atau keharmonisan di rumah. Akibatnya, waktu pribadi benar-benar tergerus.
Laporan dari Forbes menegaskan, banyak perempuan harus mengorbankan waktu sosial dan kebebasan pribadi demi menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan rumah tangga. Jika ini terus berlangsung, bukan hanya kesehatan ibu yang terancam, tetapi juga stabilitas keluarga secara keseluruhan.
Tidur yang Layak, Hak yang Sering Diabaikan
Tidur bukanlah kemewahan. Tidur adalah hak dasar yang penting bagi kesehatan fisik, mental, dan emosional setiap manusia—termasuk ibu. Namun dalam kenyataan sosial kita, hak ini sering kali terabaikan atau dianggap sepele. Budaya begadang yang melekat pada ibu-ibu Indonesia seharusnya menjadi refleksi bagi kita semua. Bukan sekadar kekaguman atas pengorbanan mereka, tapi sebagai panggilan untuk menghadirkan lebih banyak dukungan—dari keluarga, masyarakat, hingga kebijakan negara.
Karena ibu yang cukup istirahat bukan hanya lebih sehat, tapi juga mampu menghadirkan cinta dan perhatian yang lebih utuh bagi keluarga. (snd)










