KANAL24, Saat saya menjabat Menpar tahun 2014 jumlah kunjungan wisman kita adalah 9,4 juta. Ketika waktu itu kita menetapkan target kunjungan wisman sampai akhir 2019 sebesar 20 juta, berbagai pihak menganggap target itu adalah mimpi. Wajar saja karena kenaikannya mencapai lebih dua kali lipat, sebuah capaian yang belum pernah terjadi dalam sejarah pariwisata Indonesia.
Namun kini, ketika secara konsisten kita bisa menaklukkan “bukit kemenangan” satu ke “bukit kemenangan” berikutnya, kita semakin yakin bahwa visi mendatangkan 20 juta wisman itu bukanlah mimpi lagi, tapi sesuatu yang betul-betul bisa kita wujudkan. Tujuan itu kian dekat.
Data terbaru BPS menunjukkan selama Januari-Agustus 2018 jumlah kunjungan wisman sudah mencapai 10,6 juta, berarti masih ada 6,4 juta lagi selama 4 bulan tersisa untuk mewujudkan target tahun ini sebanyak 17 juta wisman. Kita masih ada dua event regional dan global yaitu gelaran Asian Para Games dan Pertemuan Tahunan IMF-World Bank yang akan mendatangkan wisman. Kita juga akan manfaatkan habis-habisan musim liburan akhir tahun ini.
Kita sudah menyiapkan tiga senjata ampuh untuk mewujudkan target 2018 tersebut yaitu: pemberian insentif untuk airlines/wholesaler, program Hot Deal, dan Competing Destination Model (CDM). Kita yakin sepenuhnya tiga senjata ampuh ini akan membawa kita menaklukkan bukit kemenangan berikutnya yaitu mencapai target 2018 mendatangkan 17 juta wisman.
Ordinary, Extra, Super
Kini kita telah memasuki bulan Oktober. Memasuki kuartal keempat adalah waktu yang tepat bagi kita untuk berkumpul dan merenung sejenak untuk mempersiapkan strategi yang hendak kita jalankan di tahun depan. Tahun depan, 2019, adalah tahun yang sangat istimewa karena merupakan tahun terakhir perjalanan kita mewujudkan visi mendatangkan
20 juta wisman. Tahun 2019 adalah tahun pertaruhan.
Pertanyaannya, apa strategi yang akan kita jalankan di penghujung perjalanan kita tahun depan?
“Hasil yang luar biasa hanya bisa dicapai dengan cara yang tidak biasa”. Kalau tahun ini kita berhasil meraih target 17 juta wisman, maka untuk mencapai target 20 juta wisman tahun depan tidaklah mudah. Artinya kita harus menciptakan strategi yang baru lagi dan breakthrough agar kita menggaet tambahan wisman sebanyak 3 juta lagi. Apa senjata pamungkas di tahun depan?
Strategi tahun depan merupakan bauran dari tiga program yang saya sebut: Ordinary, Extra
Ordinary, dan Super Extra Ordinary.
Pertama, Ordinary adalah program-program yang sudah sukses kita jalankan di tahun-tahun sebelumnya yaitu program promosi Branding, Advertising, Selling (BAS). Disebut Ordinary karena sudah biasa kita jalankan (business as usual) dimana kita melakukan continuous improvement dan secara dinamis mengubah komposisi BAS-nya sesuai dengan prioritas target yang ditetapkan. Di awal-awal porsi Branding besar, namun di akhir-akhir porsi Selling kita tingkatkan agar efektif mendatangkan wisman.
Kedua, Extra Ordinary adalah program baru yang kita luncurkan tahun 2018 ini yaitu Incentive (Airlines), Hot Deals, dan Competing Destination Model (ketiganya disingkat: IHC). Disebut Extra Ordinary karena program-program tersebut menggunakan cara-cara baru yang breakthrough dan inovatif.
Hot Deals misalnya, menerapkan konsep sharing economy yaitu menjual barang atau jasa yang tidak laku atau excess capacity dengan memberikan diskon pada unsur 3A (Aksesibilitas, Aktraksi, dan Amenitas) sehingga menarik bagi wisatawan. Sementara CDM adalah metode baru pemasaran yang mengombinasikan kemampuan machine learning, analisa big data, dan penerapan contextual advertising yang sangat presisi untuk menarget wisatawan.
Ketiga, Super Extra Ordinary adalah program-program istimewa yang sengaja kita simpan untuk menjadi senjata pamungkas mewujudkan target akhir 20 juta wisman tahun depan. Super Extra Ordinary mencakup tiga program yaitu: Border Tourism, Tourism Hub, dan Low Cost Terminal (ketiganya disingkat: BHL).
Tiga program baru BHL ini akan saya jelaskan lebih rinci, namun sebelumnya saya ingin memberikan panduan alokasi sumberdaya dari tiga portofolio strategi ini di tahun 2019. Seperti sering saya katakan alokasi sumberdaya merupakan penerapan prinsip Fokus di dalam IFA. Kita harus mengutamakan yang benar-benar utama, dan mengesampingkan yang tidak utama.
Seperti terlihat pada bagan, saya menetapkan komposisi BAS, IHC, dan BHL adalah:
40:30:30.
Itu artinya 60% anggaran akan kita alokasikan untuk program-program baru yang
breakthrough (IHC dan BHL).
Sementara untuk masing-masing strategi tersebut alokasi anggarannya adalah sebagai berikut. Porsi B:A:S adalah 20:30:50 artinya seperti tahun ini, tahun depan kita tetap fokus di Selling. Porsi I:H:C adalah 50:25:25, artinya Incentive untuk airlines/wholesalers akan tetap menjadi pengungkit utama untuk menggaet wisman. Sementara porsi B:H:L adalah 30:60:10, artinya program Tourism Hub akan menjadi ujung tombak pencapaian target.
Program Ordinary dan Extra Ordinary sudah kita jalankan di tahun 2018, namun tetap kita pertahankan di tahun 2019 dengan diperkuat oleh program Super Extra Ordinary.
#1. Border Tourism
Strategi ini lebih cocok digunakan oleh rekans di bawah koordinasi Deputi Pengembangan
Pemasaran Pariwisata I, yang menangani border area.
Border Tourism harus kita seriusi di tahun depan karena merupakan cara efektif untuk mendatangkan wisman dari negara-negara tetangga. Pertama karena wisman dari negara tetangga memiliki kedekatan (proximity) secara geografis sehingga wisman lebih mudah, cepat, dan murah menjangkau destinasi kita. Kedua, mereka juga memiliki kedekatan kultural/emosional dengan kita sehingga lebih mudah didatangkan. Ketiga, potensi pasar Border Tourism ini masih sangat besar baik dari Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, PNG, maupun Timor Leste.
Kalau berkaca pada best practice dunia, negara-negara yang paling banyak mendatangkan wisman justru adalah negara yang mengedepankan border tourism. Perancis sebagai negara yang paling sukses mendatangkan wisman misalnya, sekitar 50% wismannya diperoleh dari border tourists dengan jumlah sangat besar mencapai 42 juta (2015). Di Belgia, sekitar 51% wismannya didapat dari border tourists.
Kalau kita lihat Border Tourism di negara-negara tetangga, angkanya tak kalah menggiurkan. Di Thailand sekitar 45% wismannya berasal dari border tourists atau sekitar 13,5 juta (2015). Sementara di Malaysia angkanya lebih tinggi lagi dimana sekitar 60% wismannya adalah border tourists dengan jumlah mencapai 18 juta. Di Indonesia, Border Tourism belum kita garap serius terbukti jumlahnya baru sekitar 2 juta atau 18% (2015).
Di tahun 2019, kita akan menganggarkan dana cukup besar (30% dari anggaran Super Extra Ordinary) untuk menarik border tourists. Caranya dengan menggelar beragam crossborder event/attractions dan memberikan beragam paket Hot Deals yang menarik.
#2. Tourism Hub
Strategi ini lebih cocok digunakan oleh rekans di bawah koordinasi Deputi Pengembangan
Pemasaran Pariwisata II, yang menangani pasar yang jauh, di luar ASEAN dan Australia.
Strategi ini saya sebut sebagai strategi “menjaring di kolam tetangga yang sudah banyak ikannya”. Maksudnya, kita menarik para wisman yang sudah berada di hub regional seperti Singapura dan Kuala Lumpur untuk melanjutkan berlibur ke Indonesia.
Salah satu persoalan pelik pariwisata kita adalah minimnya direct flight dari originasi. Direct flight kita misalnya dari originasi China mencapai 50%, artinya 50% sisanya masih transit dari Singapura, Kuala Lumpur, atau Hong Kong. Sementara negara tetangga seperti Thailand atau Malaysia direct flight-nya sudah mencapai 80%. Mendatangkan direct flight dari originasi bukanlah hal gampang. Saya minta direct flight dari India ke Bali tiga tahun nggak dikasih. Akan jauh lebih mudah jika kita “menjaring” di hub-hub regional yang sudah banyak wisatawannya.
Bagaimana potensi “menjaring di kolam tetangga” ini? Coba kita cermati data berikut. Estimasi jumlah orang asing yang masuk via bandara Singapura (selain orang Indonesia) selama 12 bulan terakhir hampir mencapai 12 juta pax (rinciannya: 32% dari ASEAN minus Indonesia; 22% dari China-Hong Kong; 17% dari Asia-Pasifik; 14% dari Asia Tengah, MEA, Afrika; dan sisanya dari Eropa dan Australia). Sementara wisman ke Indonesia yang transit di bandara Singapura jumlahnya tidak sampai 700 ribu. Artinya peluang kita untuk menggaet wisman yang jumlahnya sekitar 11 juta lebih itu masih terbuka luas.
Kondisi di hub Kuala Lumpur tak jauh beda. Estimasi jumlah orang asing yang datang ke bandara Kuala Lumpur selama 12 bulan terakhir sebanyak 7 juta pax lebih. Sementara wisman Indonesia yang transit di Kuala Lumpur jumlahnya sekitar 1 juta. Berarti masih ada peluang sekitar 6 juta pax yang bisa kita garap.
Lalu caranya gimana? Kita harus bekerjasama dengan travel agent Singapura. Jangan langsung ke negara originasi dulu. Kita baru akan eksplorasi berbagai negara originasi kalau kerjasama dengan travel agent Singapura sudah habis. Kalau semua travel agent di Singapura sudah habis dieksplorasi, kita juga tak akan langsung ke originasi, tapi pindah ke hub Kuala Lumpur dulu, dengan bekerjasama dengan travel agent di Kuala Lumpur.
Saya melihat Singapura memiliki potensi yang sangat besar karena sesungguhnya Singapura bukanlah tourism hub, tapi transportation hub. Transportation hub adalah bagian dari tourism hub. Dengan demikian orang yang datang di Singapura bisa dialirkan ke Indonesia. Saya tak melihat Singapura sebagai pesaing.
Agar Singapura menjadi Tourism Hub yang kuat, makan kita harus memperkuat VITO Singapura, sebagai marketing intelligence dan marketing channel kita, yang secara rutin bekerja sama dengan travel agent di Singapura. Selanjutnya kita akan memperkuat VITO Kuala Lumpur dan Bangkok.
#3. Low Cost Terminal
Selama ini kita salah memilih vehicle untuk konektivitas udara, dimana kita harus tumbuh tinggi tetapi lebih banyak menggunakan vehicle yang tumbuhnya rendah. Wisman yang datang ke Indonesia tahun 2017 lebih dari 55% menggunakan Full Service Carrier (FSC) dan sisanya menggunakan Low Cost Carrier (LCC). Namun, ternyata pertumbuhan FSC rata-rata hanya 12% jauh di bawah LCC yang tumbuh rata-rata 21% per tahun.
Maka, LCC adalah senjata ampuh untuk mendorong pertumbuhan jumlah wisman, dimana maskapai berbiaya rendah ini menyumbang kontribusi peningkatan kunjungan wisman sebanyak 20%. Nah, untuk mendorong pertumbuhan LCC, Indonesia harus mempunyai Low Cost Terminal (LCT). Saya tegaskan bahwa LCT merupakan salah satu penentu utama keberhasilan target kunjungan 20 juta wisman pada tahun 2019.
Saat ini bandara yang paling siap dikembangkan menjadi LCCT (Low Cost Carrier Terminal) adalah Terminal 1 dan 2 Soekarno-Hatta. Nantinya Terminal 1 diarahkan menjadi full LCCT penerbangan domestik, sedangkan Terminal 2 full LCCT untuk penerbangan domestik dan internasional. Di samping itu Bandara Banyuwangi juga sedang dikembangkan menjadi LCCT setelah melalui berbagai proses pembenahan.
Setelah LCCT, ada yang menginginkan adanya Low Cost Terminal (LCT), yaitu terminal yang sejak awal memang didesain low cost, bukan hanya sekedar menurunkan tarif seperti LCCT. Di tahun 2019 kita akan makin agresif melakukan pendekatan ke pihak Angkasa Pura maupun airlines untuk mewujudkan LCT ini.
Arief Yahya, Menteri Pariwisata Indonesia