Kanal24, Malang – Fenomena “Flip the Camera” tengah menjadi sorotan publik setelah marak digunakan oleh para pengguna media sosial, khususnya anak-anak dan remaja. Tren yang pada mulanya terlihat sebagai candaan ringan ini ternyata menyimpan risiko serius: mempermalukan orang lain tanpa izin, dan kini dinilai sebagai bentuk baru perundungan digital.
Dalam beberapa pekan terakhir, video “Flip the Camera” membanjiri linimasa berbagai platform digital. Polanya serupa: seorang remaja atau sekelompok teman meminta seseorang untuk merekam mereka menari atau membuat video. Saat orang tersebut fokus merekam, kamera tiba-tiba dibalik sehingga wajahnya yang canggung dan kaget menjadi pusat perhatian, lalu diunggah ke media sosial sebagai hiburan publik.
Meski dianggap lucu oleh sebagian pengguna, tren ini memantik kekhawatiran dari pemerhati anak dan para orang tua karena berpotensi menjadi praktik mempermalukan yang berdampak panjang terhadap kondisi emosional korban.
Baca juga:
10 Skill Digital Terpanas Diburu Industri
Tren Baru yang Menyasar Orang Rentan
Tren “Flip the Camera” sering kali memanfaatkan ketidaksiapan orang lain. Dalam banyak kasus, orang yang dijadikan target tidak menyadari bahwa reaksi spontan mereka — mulai dari kaget, malu, canggung, hingga panik — sedang direkam. Mereka juga tidak memberikan persetujuan untuk diunggah ke ruang publik.
Yang lebih memprihatinkan, pelaku kerap memilih target yang dianggap “aman” untuk dijadikan lelucon: siswa pendiam, anak kurang populer, orang yang lebih muda, atau bahkan orang dewasa yang tidak paham teknologi. Hal ini menunjukkan pola perundungan di mana yang kuat memanfaatkan yang lemah demi mendapatkan tawa dan perhatian.
Pakarnya Bicara: Dampak Psikologis Tidak Bisa Dianggap Remeh
Dari sudut pandang psikologi perkembangan, tindakan mempermalukan seseorang di depan publik dapat menimbulkan dampak serius, terutama bagi remaja. Mereka yang masih dalam tahap pembentukan jati diri berisiko mengalami gangguan kepercayaan diri, kecemasan sosial, bahkan trauma jangka panjang.
Perundungan berbasis video juga dinilai lebih berbahaya karena sifatnya yang viral dan sulit dikendalikan. Setelah konten menyebar, korban kehilangan kontrol atas bagaimana video itu digunakan dan di mana saja video tersebut muncul.
Orang tua serta pendidik mulai menyuarakan kekhawatiran bahwa normalisasi tren seperti ini dapat membentuk generasi yang kehilangan empati, menganggap mempermalukan orang lain sebagai bagian dari humor digital.
Reaksi Publik: Penolakan Menguat di Media Sosial
Setelah banyak muncul kritik tajam, sebagian pengguna mulai membuat konten tandingan yang mengecam tren tersebut. Mereka menyebut bahwa tidak ada alasan humor yang bisa dijadikan pembenaran untuk merendahkan orang lain, terlebih jika korbannya tidak mengetahui apa yang terjadi.
Beberapa kreator konten besar bahkan menyatakan secara terbuka bahwa tren ini adalah bentuk nyata dari bullying terselubung. Bagi banyak orang tua, tren ini mengingatkan pentingnya edukasi literasi digital sejak dini, termasuk pemahaman tentang privasi, perizinan, dan etika bermedia sosial.
Flip the Camera dan Normalisasi Kekerasan Sosial
Fenomena ini memperlihatkan bagaimana budaya “konten” dapat memanipulasi batas etika. Ketika tawa, popularitas, atau jumlah penonton menjadi prioritas utama, empati sering tersingkir. Di sinilah bahayanya: masyarakat bisa saja tanpa sadar menormalisasi tindakan yang menyakiti orang lain.
Dalam konteks ini, “Flip the Camera” bukan sekadar tren iseng, melainkan cermin dari dinamika sosial digital masa kini. Kesenangan sekelompok orang dapat berarti penderitaan bagi individu lain yang dijadikan objek.
Ajakan untuk Menghentikan Tren yang Merugikan
Sejumlah pemerhati media digital menegaskan bahwa pengguna internet perlu lebih peduli pada prinsip dasar interaksi sosial: menghargai perasaan orang lain. Tren apa pun yang menjadikan seseorang sebagai bahan ejekan sebaiknya tidak dilanjutkan.
Selain itu, platform media sosial juga didorong untuk memperkuat regulasi terkait privasi dan perundungan digital, terutama untuk melindungi kelompok rentan seperti anak-anak dan remaja.
Empati Harus Lebih Viral daripada Perundungan
Tingkah lucu dalam video mungkin memancing tawa sesaat, tetapi dampaknya terhadap korban bisa bertahan jauh lebih lama. Tren “Flip the Camera” memberi pelajaran penting bahwa tidak semua yang viral itu pantas ditiru.
Di tengah budaya digital yang serba cepat dan kompetitif, empati, penghormatan, dan kesadaran akan privasi seharusnya menjadi nilai yang lebih sering diulang dan disebarluaskan. Viral boleh, tetapi tidak dengan mengorbankan rasa aman dan harga diri orang lain. (nid)








