Kanal24, Malang – Menjaga kesehatan mental adalah upaya yang dimulai dari pemahaman dan kekuatan diri. Dalam menghadapi tekanan hidup, individu memerlukan resiliensi atau ketangguhan mental untuk mengatasi tantangan seperti kekerasan seksual, perundungan, dan krisis emosional. Hal ini menjadi sorotan utama Ulifa Rahma, S.Psi., M.Psi., Psikolog, saat berbicara dalam acara Hear & Heal 2025 yang diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan Progresif Kabinet Simpul Memori 2025 Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya pada Senin (2/6/2025) di Gedung Widyaloka, Universitas Brawijaya.
“Faktor protektif yang paling utama justru berasal dari dalam diri kita sendiri. Apakah kita cukup tangguh, atau resiliensi, saat menghadapi tekanan atau tantangan mental seperti kekerasan seksual, perundungan, dan krisis emosional?” ujar Ulifa Rahma.
Baca juga:
Hear & Heal 2025, EM UB Perkuat Peran ULTKSP

“Faktor protektif yang paling utama justru berasal dari dalam diri kita sendiri. Apakah kita cukup tangguh, atau resilien, saat menghadapi tekanan atau tantangan mental, seperti kekerasan seksual, perundungan, dan krisis emosional?” ujar Ulifa.
Menurutnya, individu yang memiliki resiliensi tinggi, pengetahuan yang baik, serta literasi kesehatan mental yang memadai akan lebih siap menghadapi tantangan. Salah satu bentuk kesiapan itu adalah kemampuan untuk mencari dukungan sosial dari lingkungan sekitar atau merujuk diri sendiri ke profesional saat mengalami gangguan psikologis.
Namun, Ulifa juga menyoroti tantangan yang berasal dari faktor risiko eksternal. “Lingkungan yang tidak mendukung, kurangnya empati dari keluarga atau teman sebaya, hingga kebijakan yang belum berpihak pada isu kesehatan mental menjadi hambatan besar,” ungkapnya.
Menurut Ulifa Rahma, dukungan sosial dari teman sebaya merupakan elemen kunci dalam menjaga kesehatan mental. Dukungan ini tidak hanya membantu individu menghadapi tantangan emosional, tetapi juga memberikan kekuatan untuk mengatasi tekanan psikologis secara lebih efektif.
Dukungan sosial tersebut dapat diwujudkan dalam beberapa bentuk. Pertama, dukungan informasi, di mana teman memberikan arahan mengenai sumber pertolongan atau berbagi literatur yang relevan terkait kesehatan mental. Informasi ini menjadi penting untuk membantu individu menemukan jalan keluar dari masalah yang mereka hadapi.
Selanjutnya, dukungan emosional juga memegang peranan penting. Teman sebaya dapat menjadi pendengar yang baik, memberikan validasi atas perasaan tanpa menghakimi, dan menawarkan ketenangan emosional di saat-saat sulit. Ulifa menekankan bahwa kemampuan untuk mendengarkan dengan empati adalah salah satu cara paling efektif untuk membantu seseorang yang sedang mengalami tekanan psikologis.
Selain itu, ada pula dukungan struktural atau jaringan sosial. Dukungan ini melibatkan upaya lebih besar, seperti membantu teman yang mengalami gangguan berat, misalnya halusinasi atau ide bunuh diri, agar dapat mengakses bantuan profesional seperti psikolog, psikiater, atau perawat jiwa.
“Kita juga harus bisa membangun empati, menerima orang lain tanpa syarat, dan menjadi individu yang mampu mengenali serta meregulasi emosi diri sendiri. Baru setelah itu, kita bisa benar-benar efektif membantu orang lain,” kata Ulifa.
Ia juga mengingatkan bahwa mendukung orang lain dalam menjaga kesehatan mental tidak hanya berdampak pada si penerima bantuan, tapi juga memberikan manfaat positif bagi diri pemberi bantuan itu sendiri. Memberikan empati, menjadi pendengar yang baik, atau membantu mengakses layanan profesional dapat menumbuhkan rasa nyaman dan kelegaan batin dalam diri sendiri.
Baca juga:
KIBI Fokus Tingkatkan Mutu Biomedik Nasional, Siapkan Strategi Akreditasi Baru
Kegiatan Hear & Heal 2025 merupakan inisiatif dari Eksekutif Mahasiswa Kementerian P3 (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan) UB untuk mendorong evaluasi peran ULTKSP di tiap fakultas, serta membentuk budaya peduli dan tanggap terhadap isu kekerasan seksual dan kesehatan mental di lingkungan kampus.
Dengan kehadiran narasumber seperti Ulifa Rahma, mahasiswa peserta diharapkan tidak hanya memahami pentingnya kesehatan mental, tetapi juga memiliki bekal konkret dalam menciptakan ekosistem kampus yang lebih aman, suportif, dan peduli terhadap sesama. (nid/bel)