Kanal24, Malang – Reshuffle kabinet pemerintahan Presiden Prabowo yang diumumkan kemarin (8/9/2025) menjadi perbincangan hangat di ruang publik. Pergantian sejumlah menteri ini tidak hanya menimbulkan spekulasi politik, tetapi juga membuka diskusi mengenai arah kebijakan negara ke depan.
Dr. Verdy Firmantoro, S.I.Kom., M.I.Kom., Pengamat Komunikasi Politik Universitas Brawijaya, menilai bahwa reshuffle tersebut lahir dari kombinasi tekanan publik dan kebutuhan perbaikan kinerja pemerintahan.
Baca juga:
Kenaikan Tunjangan DPR Perlu Evaluasi Serius

Alasan di Balik Reshuffle Kabinet
Menurut Verdy, setidaknya terdapat dua alasan utama mengapa Presiden Prabowo melakukan reshuffle. Pertama, adanya tekanan publik yang meningkat akibat sejumlah isu kontroversial di masyarakat. Kedua, kebutuhan akan peningkatan performa kementerian dalam menjawab tantangan nasional.
Selain itu, Verdy menyebut beberapa faktor lain yang juga sering melatarbelakangi pergantian menteri, seperti potensi masalah hukum, resistensi dari elite politik, hingga sorotan terhadap citra pejabat publik yang viral di media sosial. “Reshuffle ini merupakan instrumen internal presiden untuk mengurai tekanan dan meningkatkan kinerja pembantunya,” ujarnya.
Reshuffle sebagai Respons terhadap Sentimen Publik
Fenomena viral yang melibatkan salah satu menteri dengan tokoh bermasalah menjadi contoh bagaimana komunikasi publik pejabat negara dapat menimbulkan krisis kepercayaan. Menurut Verdy, di era digital saat ini, kesalahan kecil dalam komunikasi atau interaksi publik bisa berimbas besar.
“Pejabat publik minimal harus ter-filter dengan baik. Apa yang mereka lakukan, siapa yang mereka ajak bekerja sama, bahkan aktivitas non-formalnya, itu semua akan menjadi sorotan masyarakat,” tegasnya.
Dampak Jangka Pendek dan Panjang
Verdy menilai, reshuffle tidak serta-merta menjadi solusi instan bagi perbaikan pemerintahan. Menteri baru tetap membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan kerja dan tantangan kebijakan.
“Apakah reshuffle menjawab sepenuhnya tuntutan publik? Tidak bisa langsung. Tetapi setidaknya langkah ini dapat mengurai sentimen negatif. Jika hanya sebatas meredam amarah masyarakat, risiko munculnya gelombang kritik baru akan lebih besar,” jelasnya.
Pesan bagi Menteri Baru
Dalam penutup analisisnya, Verdy mengingatkan bahwa menteri bukanlah sekadar pejabat, melainkan pelayan masyarakat. Ia menekankan pentingnya menghindari blunder komunikasi serta membangun mindset kepemimpinan yang berorientasi pada rakyat.
“Harapannya, pejabat publik tidak hanya hadir secara simbolik. Mereka harus betul-betul fokus menjawab persoalan bangsa, tidak membuat kebijakan kontraproduktif, dan menjaga komunikasi publik agar tidak menciptakan resistensi lebih besar,” katanya.
Baca juga:
Buruh Gelar Demo 28 Agustus, Tujuh Tuntutan Disuarakan
Harapan Publik terhadap Pemerintahan Baru
Verdy menyatakan, masyarakat kini menunggu apakah menteri-menteri hasil reshuffle benar-benar mampu memperbaiki kinerja kementerian atau justru hanya menjadi bagian dari rotasi politik.
“Kalau mereka berhasil menjawab tantangan, reshuffle akan dianggap sebagai langkah positif. Tetapi kalau justru melakukan kesalahan, bukan tidak mungkin akan terjadi pergantian lagi,” pungkasnya. (nid/dpa)