Kanal24, Malang – Generasi Alpha, yang lahir setelah tahun 2010, dikenal sebagai generasi yang sangat terbiasa dengan teknologi digital sejak usia dini. Mereka cenderung memiliki rentang perhatian yang lebih singkat namun cepat memahami informasi visual. Dalam konteks pembelajaran sejarah, metode tradisional yang mengandalkan teks panjang dan ceramah bisa menjadi kurang efektif. Untuk itu, penting bagi para pendidik, terutama guru sejarah, untuk mengadopsi metode pembelajaran yang lebih interaktif dan partisipatif. Pendekatan kreatif yang memanfaatkan teknologi, seperti museum virtual, dapat menjadikan materi sejarah lebih menarik dan relevan bagi generasi ini.
Dalam upaya menghadirkan pembelajaran yang relevan untuk Generasi Alpha, kelompok dosen dan mahasiswa dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya (FISIP UB) menggelar kegiatan pengabdian masyarakat bertajuk “Potensi Mobile Museum sebagai Strategi Komunikasi Pembelajaran Sejarah Berbasis Proyek Partisipatif.” Kegiatan ini dilaksanakan di Rumah Makan Kebon Pring, Kota Pasuruan, pada September 2024 lalu yang dipimpin oleh Sri Handayani, S.Pd., M.I.Kom.
Dalam keterangan yang diterima Kanal24 Selasa (8/10/2024) dijelaskan bahwa kegiatan ini dirancang untuk melatih para guru sejarah SMA di Kota Pasuruan dalam menerapkan metode pembelajaran yang lebih kreatif dan sesuai dengan karakteristik Generasi Alpha.
Dalam materi yang disampaikan oleh Desi Dwi Prianti, S.Sos., M.Comn., Ph.D., para peserta diajak memahami bagaimana museum dapat menjadi sumber pembelajaran yang menarik dan visual bagi siswa.
“Museum tidak lagi hanya dipandang sebagai tempat suram yang merepresentasikan masa lalu, namun harus dimanfaatkan sebagai sarana pembelajaran yang dinamis dan interaktif,” ujar Desi, menekankan pentingnya penggunaan museum sebagai media pembelajaran yang lebih engaging bagi siswa SMA.
Pada sesi selanjutnya, Sri Handayani, M.Ikom.,menjelaskan perbedaan antara pendekatan pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) dan pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning). Ia juga memberikan contoh-contoh penerapan project-based learning dalam pembelajaran sejarah, seperti penggunaan museum virtual melalui website framevr.
“Pembelajaran berbasis proyek memberi ruang bagi siswa untuk lebih terlibat dalam proses belajar, tidak hanya memecahkan masalah, tetapi juga menghasilkan karya yang dapat dipamerkan,” jelas Sri.
Acara ini mendapat apresiasi dari Ganyang, Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Sejarah se-Pasuruan. “Materi yang disampaikan sangat relevan dengan kebutuhan kami sebagai guru dalam meningkatkan keterampilan digital, sehingga pembelajaran sejarah bisa lebih menarik bagi siswa,” ujarnya.
Dengan pendekatan partisipatif dan berbasis proyek ini, diharapkan para guru dapat menciptakan pengalaman belajar sejarah yang lebih dinamis dan sesuai dengan kebutuhan generasi yang sangat visual dan digital-savvy seperti Generasi Alpha.(din)