oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Mencermati perilaku sosial masyarakat kita dalam menghadapi berbagai peristiwa yang terjadi memang mengasyikkan dan terkadang menggemaskan. Disaat sedang ramai kasus virus corona yang telah menyebar sangat cepat dari kota Wuhan ke seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia, dan memaksa banyak kota-kota besar di dunia mengisolasi diri, lockdown termasuk tempat peribadatan terbesar dunia yaitu makkatul mukarramag hingga menutup sementara perjalanan umrah dari banyak negara. Bahkan di beberapa kota seperti Italia seakan menjadi kota mati setelah kota Wuhan, tempat virus ini menyebar pada awalnya. Disaat semua orang dilanda kepanikan yang luar biasa karena banyaknya korban yang positif terinfeksi virus corona ini, anehnya masyarakat Indonesia santai-santai saja dan seakan tidak terpengaruh oleh ramainya berita dunia medsos. Sehingga jalan-jalan masih saja ramai, tempat hiburan juga masih saja ramai, Pasar tradisional dan modern serta cafe juga demikian, masjid dan gereja juga begitu. Seakan tidak terpengaruh apapun dengan ramainya jagat medsos yang memberitakan kasus kematian dan dramatisasi ketakutan yang mencekam di berbagai kota-kota besar dunia. Ada apa dengan masyarakat Indonesia? . Apakah mereka memiliki ilmu kebal seperti dalam sinetron-senitro televisi nasional, ataukah karena mereka sangat percaya dengan empon-empon seperti jahe, temu lawak dan minuman STMJ yang ramai setiap malamnya sebagaimana dikatakan oleh sang presiden ?.
Untuk menjawab persoalan ini, sepertinya kita perlu memahami karakteristik masyarakat Indonesia. Dalam pembahasan gaya komunikasi sosial dalam masyarakat, secara teoritik dikenal dua pendekatan dalam memahami realitas komunikasi dan tindakan suatu masyatakat. Pertama dikenal dengan istilah HCC atau High Context Culture dan kedua adalah Low Context Culture (LCC). Pada masyarakat yang HCC, dalam memproses informasi cenderung rumit, tidak to the point, suka basa basi, sangat percaya dengan hal-hal yang bersifat spiritual dan klenik, tidak suka dengan hal yang bersifat rasional. Lebih percaya institusi religi dari pada institusi formal keahlian sebagai konsekwensi dari kecenderungan atas spiritualitas dalam berpikir. Artinya narasi agama mendominasi pertimbangan pengambilan keputusan dan bersikap dalam mensikapi berbagai realitas persoalan yang muncul. Dalam kasus kasus corona ini masyarakat cenderung membangun narasi tentang ketawakkalan, kesabaran dalam menghadapinya. Berbagai argumentasi spiritual bernada kepasrahan mengemuka dalam pikiran masyarakat. Tentu hal ini sangat baik dalam pandangan masyarakat HCC namun disisi yang lain cenderung mengesampingkan pertimbangan fakta ilmiah atas kasus yang berkembang khususnya tentang fakta ganasnya penyebaran virus ini. Demikian pula apabila tingkat kepercayaan masyarakat atas statemen tokoh agama akan lebih mudah diterima dan diikuti arahannya daripada pendapat seorang yang ahli sekalipun tentang hal yang memang sebenarnya berada diranah profesionalisme para ahli tersebut.
Sementara pada tipe kedua, masyarakat Low Context Culture yang memahami sesuatu dengan terlalu sederhana, to the point, sangat rasionalis dalam menilai suatu peristiwa dan mudah percaya pada advice profesional. Pada masyarakat yang demikian akan mudah panik manakala terus menerus dijejali informasi rasional atas suatu peristiwa. Hal ini tentu berbeda dengan kalangan masyarakat pada tipe yang pertama diatas. Untuk itu salah satu alasan mengapa masyarakat iNdonesia tidak banyak terpengaruh atas informasi di jagad media sosial tentang bahaya bencana covid-19 ini karena masyarakat kita memiliki cukup banyak alasan dan argumentasi yang dapat untuk menjawab dan menolak adanya kampanye ketakuyan massal atas penyakit ini. Sehingga dalam suasana mencekamnya kota-kota di negara-negara endemik corona ini maka masyarakat Indonesia cukup masih bisa tertawa bahkan membuat meme-meme lucu atas kasus virus ini. Patut dicatat bahwa virus corona ini menyerang siapa saja yang memiliki imunitas tubuh yang lemah. Kepanikan dan ketakutan yang diproduksi oleh berita media kemudian apabila ditangkap oleh kalangan rasional maka hal ini akan semakin mencekam, bukan sebab virusnya melainkan terhadap beritanya.
Sementara pada masyarakat HCC yang suka guyon, humor dan sebagainya maka imunitas tubuh mereka semakin kuat, sebab menanggapi kasus atas peristiwa secara unik, berbeda dan santai. Bertemunya antara perasaan bahagia dengan keyakinan spiritualitas dari masyarakat HCC inilah yang akan menambah kekuatan imunitas tubuh seseorang yang menjadikan dirinya cenderung lebih kebal dari penyakit termasuk virus corona ini. Untuk itu jangan terlalu panik, teruslah bahagia dan jangan lupa tersenyum karena tersenyum adalah tanda hati sipemiliknya sedang bahagia yang menandakan bahwa kita saat ini sedang sehat. Namun senyum-senyum sendiri itu berbahaya karena anda sedang kena virus lainnya. Selamat menikmati suasana tegang saat ini dengan pikiran bahagia, namun tetap jaga kewaspadaan dengan menjaga kesehatan fisik dan mental kita.
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB