oleh | Akhmad Muwafik Saleh
Suatu hal yang menggembirakan selama bencana terjadi di negeri ini yaitu munculnya jiwa saling bergotong royong membantu warga yang terdampak bencana baik dalam bentuk bantuan sembako, kebutuhan makan, pakaian layak pakai, obat-obatan maupun donasi lainnya. Kita melihat secara nyata, masyarakat kita menampilkan sikap ringan tangan dan bermurah hati, berbondong-bondong dalam membantu setiap orang yang terdampak bencana. Bahkan semua kelompok dari berbagai lapisan bersedia turut terlibat dalam berbagai kegiatan voluntarisme bencana. Hal ini secara nyata tampak dalam realitas kemasyarakatan kita dikala terjadi bencana.
Jiwa ini lahir dari anugerah sifat ketuhanan yang ditanamkan pada jiwa manusia melalui sifat arrahman dan arrahim Allah swt. Sifat Ar Rahman Allah swt diberikan kepada semua makhluqnya secara umum, sebuah nikmat besar yang diberikan kepada siapa saja secara keseluruhan, yang disebut pula dengan nikmatul ijad, sehingga memungkinkan setiap mahkluq memiliki rasa belas kasih, bahkan terhadap hewan sekalipun sehingga tidak pernah kita jumpai sebuas apapun hewan memangsa anaknya. Semangat voluntarisme adalah menunjukkan adanya sifat kasih sayang yang bersemayam dalam jiwa manusia.
Fenomena voluntarisme pada masyarakat Indonesia selama bencana menunjukkan masih adanya perhatian dan kepedulian yang melekat dalam diri masyarakat Indonesia yang perlu terus dipupuk sebagai bagian social capital yang sangat mahal dalam membentuk suatu karakter bangsa menjadi sebuah bangsa besar. Kepedulian sosial dibangun dari nilai gotong royong yang telah melekat dalam diri masyarakat nusantara semenjak lama.
Secara teologis, voluntarisme adalah suatu konsep kepedulian kepada sesama yang dibangun semenjak awal teologi profetik hadir. Secara konseptual, voluntarisme dibangun oleh dua konsep utama yaitu jiwa kepedulian sosial untuk membantu orang lain dan nilai keikhlasan amal perbuatan. Pada konsep yang pertama, jiwa kepedulian dibangun bersamaan dengan semangat persaudaraan. Tercatat dalam sejarah bahwa pada saat Rasulullah hijrah ke Madinah setelah membangun masjid selanjutnya mempersaudarakan sesama muslim. Prinsip persaudaraan yang dibangun berada diatas nilai kasih sayang atas sesama sebagai wujud dan konsekwensi keimanan. Sebagaimana disampaikan nabi :
عَنْ أَبِيْ حَمْزَةَ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ خَادِمِ رَسُوْل الله عَنْ النَّبِي قَالَ : لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Dari Abu Hamzah Anas bin Malik, khadim (pembantu) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau berkata, “Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya”. (HR. Bukhari)
Kepedulian sosial dalam perspektif profetik ini bersifat universal, tidak hanya berfokus pada satu golongan atau ras tertentu, namun berlaku pada siapa saja, terlebih disaat menghadapi suatu bencana dengan maksud untuk memberikan kemudahan kepada siapa saja terlebih kepada sesama muslim. Dalam hadits yang lain Rasulullah saw bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ .قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
Dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: ‘Barang siapa membebaskan seorang mukmin dari suatu kesulitan dunia, maka Allah akan membebaskannya dari suatu kesulitan pada hari kiamat. Barang siapa memberi kemudahan kepada orang yang berada dalam kesulitan, maka Allah akan memberikan kemudahan di dunia dan akhirat. Barang siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim. (HR. Muslim).
Bahkan nilai kepedulian ini secara implementatif dicontohkan melalui tindakan sepele keseharian seperti berbagi makanan sekalipun hanya berbagi kuah pada tetangga. Sebagaimana sabda nabi :
وعن أَبي ذر ، قَالَ : قَالَ رَسُول الله : يَا أَبَا ذَرٍّ ، إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً ، فَأكثِرْ مَاءهَا ، وَتَعَاهَدْ جيرَانَكَ
Dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Abu Dzarr, jika engkau memasak masakan berkuah, maka perbanyaklah kuahnya dan perhatikanlah tetanggamu.” (HR Muslim)
Secara tegas dalam menanamkan jiwa kepedulian ini, Rasulullah saw menegaskan bahwa keimanan itu haruslah terimplementasi dalam tindakan keseharian berupa kepedulian terhadap tetangga dan seseorang dianggap tidak sempurna keimanan dalam dirinya manakala dia dapat tidur nyenyak sementara tetangganya kelaparan. Sebagaimana dalam sabdanya :
ما امن بي من با ت شبعان وجاره جائع الى جنبه وهو يعلم
Tidaklah beriman kepada-Ku orang yang tidur dalam keadaan kenyang. Sedang tetangganya kelaparan sampai ke lambungnya. Padahal ia (orang yang kenyang) mengetahui. (HR. Hakim)
Nilai-nilai spiritual ini terus menerus ditanamkan dalam jiwa seorang muslim bahkan dikaitkan dengan persoalan keimanan sehingga mendorong lahirnya jiwa kepedulian yang sangat kuat terinternalisasi dalam diri setiap muslim. Sehingga nilai ini berbuah dalam realitas berupa munculnya tindakan dan perilaku voluntarisme yang menggelora untuk turut membantu sesamanya dikala terjadi bencana. Jiwa voluntarisme ini menjadi modal dasar dalam membangun kesadaran masyarakat atas bencana.
Penulis KH Akhmad Muwafik Saleh Pengasuh Pesma Tanwirul Afkar dan Dosen FISIP UB