Kanal24, Malang – Fenomena playing victim atau berpura-pura menjadi korban semakin sering muncul dalam berbagai hubungan sosial. Dalam lingkungan kerja, pertemanan, bahkan keluarga, tipe ini sering menampilkan diri seolah paling menderita untuk menarik simpati dan menghindari tanggung jawab.
Di permukaan, si playing victim tampak rapuh dan butuh pengertian. Namun dibalik itu, sering tersimpan bentuk manipulasi emosional yang halus. Mereka menggunakan rasa iba orang lain untuk mempertahankan kendali atas situasi dan membenarkan perilaku sendiri.
Pola Manipulasi di Balik Sikap Korban
Menurut laman Psychology Today, individu dengan kecenderungan playing victim memiliki tiga pola umum dalam berinteraksi dengan orang lain. Pertama, mereka menempatkan diri sebagai korban yang hidupnya dianggap paling berat. Hal ini membuat mereka merasa lebih penting dari orang lain dan sering menjadikan penderitaan sebagai alat untuk mengendalikan emosi orang di sekitarnya.
Baca juga:
UB Luncurkan Batikpedia, Platform Pelindung Warisan Batik Nusantara
Kedua, mereka menampilkan diri sebagai pihak yang rentan dan terluka. Kerentanan tersebut sering dijadikan pembenaran untuk memanfaatkan kebaikan hati orang lain atau menghindari tanggung jawab pribadi.
Ketiga, mereka menghindar dari tanggung jawab dengan terus mengungkit masa lalu yang sulit. Dengan cara ini, setiap kesalahan di masa kini seolah dapat dimaklumi karena “trauma” sebelumnya. Pola seperti ini, bila dibiarkan, dapat menciptakan hubungan yang tidak sehat. Satu pihak akan terus diminta berempati tanpa henti, sementara pihak lainnya menghindar dari refleksi dan perubahan.
Menghadapi Si Playing Victim dengan Cerdas
Menghadapi orang yang suka berperan sebagai korban tidak selalu harus dengan konfrontasi. Menurut laman Your Tango, kunci utamanya adalah tetap tenang, menjaga batas diri, dan menggunakan kalimat yang tegas namun tetap berempati.
Beberapa contoh kalimat yang bisa digunakan antara lain:
āTidak semua orang mau menjatuhkanmu.ā Kalimat ini membantu mereka menyadari bahwa dunia tidak sedang melawan mereka, sekaligus mengurangi pola pikir defensif.
āKamu bukan satu-satunya orang yang lagi struggling.ā Mengingatkan bahwa setiap orang punya tantangan hidup masing-masing, sehingga penderitaan tidak seharusnya dijadikan kompetisi.
āKenapa sih kamu suka membandingkan hidupmu sama orang lain?ā Pertanyaan ini mendorong refleksi dan membantu mereka fokus pada diri sendiri, bukan pada rasa iri atau ketidakadilan.
āApa peranmu dalam situasi itu?ā Berdasarkan studi dari Psychology and Behavioral Science International Journal (2017), pertanyaan reflektif seperti ini dapat mengurangi kecenderungan menyalahkan orang lain.
āAku tidak bisa menyelesaikan masalahmu, tapi aku di sini buat dukung kamu.ā Kalimat ini menegaskan empati tanpa kehilangan batas pribadi. Dukungan tidak harus berarti ikut menyelesaikan masalah.
āMenurutku, ini nggak adil.ā Dapat digunakan ketika si playing victim mencoba menyalahkan pihak lain agar mendapat simpati. Tegas, tapi tidak menyerang.
Jaga Empati, Tapi Tetap Waspada
Meski perilaku playing victim dapat membuat lelah secara emosional, penting untuk diingat bahwa sebagian orang memang tumbuh dalam pola pikir korban akibat pengalaman masa lalu. Karena itu, menghadapi mereka bukan berarti membalas dengan kemarahan, melainkan menjaga keseimbangan antara empati dan kewarasan diri.
Mengenali pola manipulasi emosional ini membantu kita memahami batas sehat dalam relasi sosial. Dengan begitu, kita bisa tetap peduli tanpa ikut terseret dalam drama yang berulang. Pada akhirnya, relasi yang sehat bukan tentang siapa yang paling menderita, tetapi tentang dua pihak yang sama-sama mau bertanggung jawab atas perannya masing-masing.(tia)









