Kanal24, Malang – Wisata Halal dicanangkan dalam rangka untuk menjamin ketenangan dan kenyamanan semua pihak dalam berwisata. Sayangnya, urgensi standarisasi yang sangat penting tersebut terdapat berbagai respons yang berorientasi bernada penolakan dari pelaku industri wisata yang sempat terjadi beberapa waktu lalu. Respons penolakan tersebut bahkan sampai pada putusan normatif yang diterbitkan oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pencabutan Atas Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyelenggaraan Usaha Hotel Syariah.
Trend wisata halal ini diukur berdasarkan data Global Muslim Tourist Expenditute yang menunjukkan pengeluaran wisatawan muslim untuk haji, umrah, dan wisata islami lainnya(termasuk wisata halal) hampir sama besarnya dengan total yang dikeluarkan wisatawan China(USD 168 miliar), yakni sebesar USD 151 miliar. Ukuran pasar spesifik pada data yang menunjukkan dana yang dikeluarkan pada pasar muslim global adalah sebanyak USD1,173 miliar atau setara dengan 16,6% dari total pengeluaran global, dan diprediksi akan terus tumbuh hingga sebesar USD 1,914 miliar atau setara dengan 18,3% dari total pengeluaran global pada tahun 2021(Thomson Reuters, 2016:26).
Data lain yang juga mendukung adanya trend menguntungkan Indonesia ini adalah dimana oleh Tourist Industry Growth Rate Benchmark 2015 menyebutkan bahwa Indonesia masih menjadi yang terdepan dengan perkembangan industri pariwisata sebesar 10,3%, dengan pertumbuhan wisatawan muslim juga cukup tinggi dengan perkembangan sebesar 6,3%. Dua data tersebut menunjukkan bagaimana besarnya potensi wisata halal di Indonesia
Dengan potensi yang demikian besar, kenapa masih ada penolakan terhadap penerapan wisata halal ? Salah satu hal yang dikhawatirkan oleh pelaku wisata adalah akan mengganggu atau “mengancam” keberadaan kegiatan pariwisata yang telah ada. Mereka khawatir, jika wisata halal diterapkan, maka minuman keras dilarang, prostitusi dilarang, tari tradisional dilarang, dan sebagainya.
Apakah demikian konsep wisata halal ? Jawabannya tidak. Wisata halal memiliki definisi sebagai penyediaan produk dan layanan pariwisata yang memenuhi kebutuhan wisatawan muslim sesuai ajaran agama Islam. Tujuan dari wisata halal sendiri adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar wisatawan muslim sesuai dengan aturan-aturan Islam, misalkan menyediakan makanan dan minuman halal, tempat ibadah, serta beberapa fasilitas lainnya yang sesuai dengan aturan Islam. Keberadaan pariwisata halal ini di Indonesia tidak untuk menggeser pariwisata konvensional yang telah masyhur sebelumnya, tetapi menambah alternatif segmen pariwisata nasional agar lebih beragam untuk menarik kunjungan wisatawan, sehingga pariwisata halal dan pariwisata konvensional berjalan secara beriringan (kemenpar.go.id, 2015).
Artinya, wisata halal bukanlah untuk merubah keberadaan pariwisata yang telah ada, akan tetapi berupaya untuk melengkapi dasar dari konsep pengembangan pariwisata terutama pada sisi Amenities (melengkapi sarana, dan prasarana untuk ibadah umat Islam, karena dalam Islam ibadah dilaksanakan 5 waktu dan dilakukan pada siang hari tatkala pada umunya kegiatan berwisata dilakukan). Juga melengkapi konsep pengembangan pariwisata bidang Ancillary Service terkait dengan tambahan layanan berupa informasi dan pelayanan yang sifatnya mendukung keberadaan hal-hal yang dikonsumsi oleh wisatawan muslim.
Hal yang mendasari adalah dalam beberapa penelitian melaporkan jika hanya beberapa destinasi wisata saja yang dikunjungi wisatawan muslim memiliki fasilitas yang memudahkan mereka untuk melaksanakan ajaran agamanya. Kalaupun ada, biasanya kondisinya santa memprihatinkan (tidak terawat). Tempat wudhu tidak berfungsi (tidak ada airnya, kran rusak), dan lantainya kotor. Peralatan sholat yang tersedia (sarung, sajadah, mukena) juga tidak ada memadai (kotor, bau, dan mungkin juga terkena najis). Lebih parah lagi, untuk menggunakan fasilitas sholat tersebut wisatawan harus membayar (dikomersilkan).
Tidak hanya pada destinasi wisata, hotel atau penginapan tempat mereka menginap pun terkadang tidak memiliki tempat sholat atau petunjuk arah kiblat. Bahkan di destinasi wisata yang dituju, belum tentu ada akomodasi restoran yang menyediakan menu makanan halal untuk wisatawan muslim bersantap. Padahal ibadah sholat dan mengkonsumsi makanan halal merupakan hal yang sangt prinsip dan tidak bisa ditawar lagi oleh wisatawan muslim.
Apakah ini berarti memperlakukan wisatawan muslim lebih istimewa dari wisatawan lainnya ?, Tentu Tidak. Sebagai seorang pembisnis, tentunya harus memahami kebutuhan konsumen atau pelanggan. Meski melakukan perjalanan wisata, wisatawan muslim tetap berupaya untuk menjalankan kewajiban agamanya seperti sholat dan makanan halal. Dengan memfasilitasinya pembisnis di bidang pariwisata telah memberikan pelayanan yang adil kepada mereka.
Terlebih lagi saat ini di Indonesia mayoritas wisatawannya adalah muslim. Jadi hal yang wajar jika konsep pelayanan prima ini dilakukan oleh para pengusaha di bidang kepariwisataan. Toh hal tersebut juga akan semakin meningkatkan citra perusahaan yang ramah kepada wisatawan apapun. Malah jika tidak diselenggarakan konsep wisata halal akan muncul wacana diskriminasi, yaitu tidak memberikan fasilitas kepada umat muslim dalam berwisata.
Jadi masih alergikah terhadap keberadaan wisata halal ?
Supriono, S.Sos., M.AB, Dosen Administrasi Bisnis, FIA UB,