Kanal24, Malang – Kecerdasan buatan (AI) kini bukan sekadar alat bantu, tetapi mitra berpikir yang mampu mempercepat lahirnya karya ilmiah berkualitas. Hal itu ditegaskan oleh Assoc. Prof. Muhammad Roil Bilad dari Universiti Brunei Darussalam, yang menekankan pentingnya penggunaan AI secara bertanggung jawab dan terstruktur dalam proses riset dan publikasi ilmiah.
Menurutnya, AI dapat membantu peneliti mengelola data, menemukan literatur relevan, serta menyusun kerangka tulisan hingga tahap penyuntingan akhir dengan efisiensi tinggi. “AI bukan pengganti penulis, tapi rekan kerja yang bisa membuat hasil riset lebih cepat tuntas dan lebih baik kualitasnya,” ujar Bilad di hadapan peserta Workshop The 7th International Conference on Brawijaya Dentistry (ICBD) 2025, Jumat (31/10/2025).,
Tantangan Akademisi Indonesia di Era Digital
Bilad menyoroti masih rendahnya tingkat adopsi AI di kalangan peneliti Indonesia. Sementara di universitas-universitas besar dunia, hampir 95 persen akademisi telah menggunakan AI dalam penelitian mereka, di Indonesia sebagian masih ragu karena faktor etika dan persepsi tanggung jawab ilmiah.
“Banyak yang takut dianggap tidak orisinal, padahal justru AI membantu kita berpikir lebih sistematis,” jelasnya. Ia menambahkan, AI memiliki kapasitas lebih luas dari sekadar mesin pencari, karena bisa digunakan untuk menyusun gagasan, mengembangkan ide riset, dan membangun struktur penulisan ilmiah secara kolaboratif.
“Kalau kita hanya pakai AI seperti Google, itu salah kaprah. Potensinya jauh lebih besar,” tambahnya menegaskan.
Perubahan Paradigma
Lebih lanjut, Bilad mengungkapkan bahwa resistensi terhadap AI sering kali muncul bukan karena ketidaktahuan, tetapi karena kekhawatiran sosial. “Ada kelompok yang resisten, dan kelompok lain yang takut pada mereka. Akhirnya serba maju mundur,” ujarnya.
Ia menegaskan, saat ini bukan lagi waktunya menolak teknologi. “Sekarang zamannya AI. Kalau masih pakai mesin ketik, ya jelas ketinggalan zaman,” katanya disambut tawa peserta.
Menurutnya, AI justru membuka peluang besar bagi peneliti Indonesia yang menghadapi dua tantangan utama—yakni bukan penutur asli bahasa Inggris dan belum terbiasa menulis akademik. “AI bisa jadi jembatan yang membuat kita setara dengan peneliti dari negara lain,” ucapnya.
Membangun Budaya Akademik yang Adaptif
Bilad juga menilai langkah Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Brawijaya (FKG UB) yang menyelenggarakan Workshop The 7th International Conference on Brawijaya Dentistry (ICBD) 2025 sebagai langkah progresif dalam mendorong adaptasi teknologi di dunia akademik.
Ia berharap kegiatan ini dapat melahirkan komunitas peneliti yang bangga menggunakan AI secara kolektif dan produktif.
“Kalau pimpinan dan dosen sudah satu visi, maka AI bukan lagi tabu, tapi kebutuhan,” katanya. Bilad juga menegaskan, tanggung jawab tetap berada di tangan penulis, bukan pada teknologi. “AI tidak menggantikan akal manusia. Ia hanya mempercepat apa yang seharusnya bisa kita capai dengan lebih efisien,” pungkasnya.(Din/Nid)










