KANAL24, Malang – Hidup mati KPK ada di tangan Presiden. Begitulah pernyataan yang disampaikan oleh DR. Sulardi, SH., M.Si sebelum dimulainya diskusi publik yang mengambil tema Tolak Revisi UU KPK. Diskusi diselenggarakan selasa (10/9/2019) di Ruang Sidang 1 Gedung A Lt.6 Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB).
“Ini kan sebenarnya langkah yang jeda tahun 2016 lalu. Dulu di DPR sudah selesai, terus diserahkan ke Presiden, lalu Presiden menunda. Karena ditunda, maka ada alasan untuk mengajukan lagi,” ungkap Sulardi.
Sulardi melihat ini sudah disiapkan sejak 2016. Sekarang adalah momentum untuk meminta jawaban Presiden. Karena ini masa akhir DPR 2014-2019. KPK itu institusi yang dibutuhkan, tapi punya “musuh yang banyak”. Salah satunya adalah DPR, karena DPR “musuh” ia berupaya bagaimana melemahkan KPK. Padahal, KPK sebenarnya adalah produk DPR.
Menurut Sulardi KPK merpakan produk UU yang dibuat DPR dan presiden sehingga aneh jika KPK kemudian akan dilemahkan oleh DPR dengan revisi UU.
“KPK itu diperkuat sehingga memiliki keberanian menyelesaikan kasus-kasus korupsi yang besar di Indonesia seperti BLBI, Bank Century, dsb. Selama ini saya menilai OTT yang dilakukan oleh KPK adalah OTT yang kecil-kecil, seperti Kepala Daerah dan DPR/DPRD. Ini menimbulkan kesan KPK tebang pilih,” lanjutnya.
KPK diperkuat supaya memiliki keberanian melawan seperti BLBI. Di dalamnya ada pasal-pasal seperti pembentukan dewan pengawas, laporan, ijin penyadapan, dsb. Secara logika, tidak mungkin kita ingin melakukan penyadapan kemudian minta ijin dulu. Dalam waktu 24 jam kan bisa bocor siapa-siapa saja yang ingin disadap itu.
Penguatan KPK bisa dengan misalnya KPK memiliki “senjata” yang bisa menjadikan lembaga anti rasuah itu sebagai lembaga yang mampu menyelesaikan korupsi ditingkat yang besar. Kalau sudah menyelesaikan korupsi yang besar, menjadikan korupsi yang kecil-kecil akan tumbang dengan sendirinya.
“Misteriusnya disini, pembelaan KPK ini kan cukup besar. Disatu sisi bola ada di tangan Presiden. Ini nanti akan menjadi bola yang menguntungkan Presiden, ketika Presiden menolak. Penolakan ini akan disambut seolah-olah Presiden menjadi pro terhadap pemberantasan korupsi. Saya mencurigai jangan-jangan ini sudah diskenario ada keinginan untuk melakukan perubahan tentang UU KPK kemudian ada penolakan dari masyarakat, Presiden mendukung masyarakat, maka yang diuntungkan adalah Presiden,” jelas akademisi Hukum UMM itu.
Presiden diuntungkan dengan momentum seperti ini, Sulardi mengkhawatirkan ini sebenarnya by design, artinya nanti yang keluar sebagai pahlawan itu presiden. Analisanya, DPR ini sudah masa akhir, masalah setuju atau tidak setuju ini sudah selesai. Kalau presiden menolak maka respon dari masyarakat yang kontra akan luar biasa bahwa Presiden mendukung KPK. Masyarakat yang dulu tidak pro Presiden menjadi mendukung. (meg)