Kanal24 – Mahasiswa vokasi dinilai tidak kompeten dalam bidang soft skill. Hal ini diungkapkan oleh dosen Fakultas Vokasi Universitas Brawijaya, Rachmad Andri Tomoko, S.ST., M.T. dalam acara Webinar Nasional Ketersediaan Lulusan Vokasi untuk Menjawab Tantangan Ekonomi Nasional di Era Industri 4.0.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi, pengguna tenaga kerja memiliki keluhan terhadap lulusan vokasi terkait soft skill mereka. Dari sisi hard skill memang tidak ada masalah, sebab di kampus mereka ditempa untuk siap masuk dunia kerja. Namun secara soft skill, mereka dipandang lemah dan kurang di inisiatifnya, komunikasi, teamwork, leadership, dan daya tahan di bawah tekanan kerja.
“Sebagai alumni sekolah vokasi, itu saya rasakan sendiri bahwa kita lemah di hubungan interpersonal. Memang kita tidak bisa menyalahkan karena desain dari kurikulum pendidikan vokasi sendiri memang lebih menitikberatkan pada hard skill. Anak vokasi itu ya, datang jam tujuh pagi pulang sampai jam lima sore. Porsi kuliahnya besar, sehingga waktunya habis di kampus untuk melakukan praktikum dan segala macam. Hal ini menyebabkan mereka tidak sempat untuk bersosialisasi dengan orang lain dan tidak punya waktu mengeksplorasi skill lain di luar yang diajarkan oleh kampus,” terang Moko.
Soft skill merupakan sebuah proses, artinya butuh usaha dan waktu yang lama untuk bisa membentuk dan mengembangkan keterampilan ini. Begitu mahasiswa masuk, penilaian terhadap soft skill tidak mungkin diwakili dengan mata kuliah. Kalau hanya diuji dari mata kuliah, maka akan menghasilkan nilai saja. Pihak kampus tidak bisa memastikan apakah mahasiswa tersebut benar-benar sudah menguasainya atau belum. Jadi, kampus tidak bisa mengukur soft skill melalui mata kuliah.
Oleh karena itulah, para pemangku kepentingan di kampus harus bersinergi untuk menciptakan tempat pengembangan softskill yang ramah bagi mahasiswa vokasi. Strategi paling efektif yang bisa diambil adalah, pihak kampus harus menggiring dan memberikan motivasi pada mahasiswa untuk mencari soft skill di luar kelas melalui kegiatan organisasi baik intra-kampus maupun ekstra-kampus, pengabdian masyarakat, dan magang. Selain itu, kampus juga dapat membuat strategi yang tersistem, seperti kewajiban KKN, optimalisasi peran dosen dalam transfer value di kelas, optimalisasi peran tiga bidang kemahasiswaan, serta optimalisasi keikutsertaan dalam lomba nasional dan internasional.
“Peran bidang kemahasiswaan ini sangat penting dalam memberikan pengawalan sejak mereka masih menjadi mahasiswa baru. Sejak awal, mereka harus diarahkan untuk memiliki inisiatif dalam mempelajari soft skill. Sebab kampus hanya bisa menjamin hard skill mereka, sedangkan terkait pengembangan soft skill menjadi tanggung jawab individu atau tiap-tiap mahasiswa. Upgrade soft skill mahasiswa vokasi ini harus terus ditingkatkan dengan harapan agar setelah lulus kuliah nanti mereka matang tidak hanya di keterampilan teknis saja melainkan juga keterampilan non-teknis,” pungkas Moko. (riz)