Kanal24, Malang – Setiap orang memiliki hak dan kesempatan yang sama. Namun seringkali lingkungan yang membuatnya berbeda. Inilah kenapa muncul istilah yang dikenal sebagai disabilitas. Disabilitas adalah suatu kondisi dimana seseorang memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas tertentu yang kemudian membuatnya kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Karena itulah penyandang disabilitas seringkali tersisihkan, terdiskriminasi dan terlupakan. Padahal mereka termasuk kelompok rentan dan berhak memperoleh perlindungan.
Demi mengatasi persoalan tersebut, masyarakat perlu menciptakan lingkungan inklusif yang memberikan ruang gerak yang nyaman dan aman bagi para penyandang disabilitas agar dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan sebagaimana mestinya. Berangkat dari dorongan inilah, komunitas Omah Gembira hadir untuk mewujudkan lingkungan inklusif di daerah Malang. Komunitas ini terbentuk atas prakarsa Yayasan Bhakti Luhur yang bekerjasama dengan Jerman untuk menciptakan lingkungan yang ramah bagi penyandang disabilitas. Yayasan ini juga yang menjadi penggagas terbentuknya sepuluh paguyuban penyandang disabilitas yang tersebar di sepuluh daerah Malang.
Bersama sepuluh paguyuban inilah, Omah Gembira memanifestasikan lingkungan inklusif dengan melakukan berbagai program kerja yang mendukung aksesibilitas penyandang disabilitas dalam memperoleh hak-haknya. Upaya ini dilakukan dengan menjembatani hubungan antara paguyuban dan stakeholder baik yang mendukung penyandang disabilitas maupun yang sama sekali belum mengenal penyandang disabilitas. Di samping itu, komunitas mendampingi kegiatan paguyuban yang berfokus pada bidang pendidikan dan kewirausahaan untuk mendorong pemberdayaan para penyandang disabilitas. Adapun anggota dari paguyuban ini sendiri terdiri atas penyandang disabilitas dan orang tua atau walinya.
Di program kerja pendidikan, kegiatannya terbagi menjadi dua yaitu terapi dan belajar bersama untuk penyandang disabilitas. Kegiatan terapi ini melibatkan anak-anak muda berjiwa sosial, relawan dan pekerja sosial profesional yang mempunyai keahlian di bidang psikologi dan fisioterapi untuk memberikan treatment kepada anak penyandang disabilitas serta memberikan edukasi bagi orang tua agar mereka paham bagaimana cara memberikan perawatan yang tepat bagi anak-anaknya yang berkebutuhan khusus. Riza Agung Pribadi selaku ketua & founder dari Omah Gembira menyebut kegiatan ini sebagai program family support di mana keberlanjutan terapi dan pembelajaran anak-anak ini bergantung penuh pada orang tua, bukan komunitas. Komunitas sebagai pihak eksternal hanya bisa mendukung dan memberikan bantuan.
Riza memaparkan bahwa kegiatan belajar dan terapi ini rutin diadakan oleh beberapa paguyuban, seperti di Kecamatan Kedung Kandang, Blimbing, Sukun, Pakis, Singosari, dan Lawang. Kegiatan paguyuban Kedung Kandang dilaksanakan setiap hari Minggu pagi, pukul 8 di sekitar GOR Ken Arok. Paguyuban Blimbing mengadakan acaranya di kantor kecamatan pada Minggu pagi juga. Di daerah Sukun, tepatnya sekitaran SMPN 17 Malang dilaksanakan di hari Rabu pukul 3 sore. Sedangkan di daerah Kabupaten Malang, tepatnya di Pakis, Singosari, dan Lawang serentak diadakan pada hari Minggu pagi di masing-masing lokasi. Tiap-tiap paguyuban ini telah aktif menentukan jadwalnya sendiri, sehingga peran komunitas di sini hanya membantu menghubungkan relawan-relawan yang hadir.
Di samping fasilitas pendidikan, Omah Gembira memberikan akses bagi para penyandang disabilitas yang mampu menerima materi untuk mendapatkan workshop kewirausahaan di berbagai seperti pelatihan produk olahan bahkan industri tekstil. Baru-baru ini, pengusaha tekstil dan batik asal Malang, Hamparan Rintik berkolaborasi dengan komunitas untuk menciptakan pameran Jelang Julang 2022 yang bertemakan “Aku, Kamu, Kita Setara”. Acara pagelaran tersebut akan memamerkan batik motif hasil karya penyandang disabilitas sebagai wujud kemandirian kaum difabel. Kekurangan tidak pernah menjadi batasan bagi mereka untuk bereksplorasi, berkarya dan berkontribusi layaknya masyarakat pada umumnya.
Memperjuangkan hak-hak kaum yang termarjinalkan tentu saja bukan perjalanan yang mudah. Kendala terbesar seringkali dihadapi ketika Riza dan tim sedang melakukan founding untuk mencari donasi. Banyak calon donatur merasa skeptis akan latar belakang mereka yang tidak sesuai dengan bidang sosial yang mereka jalankan. Donatur menilai basic dari para pengurus komunitas setidaknya harus bersinggungan dengan agenda kerjanya, meskipun di lapangan kenyataannya tidak mengharuskan seperti itu.
Demi melengkapi kekosongan ini, tim berupaya merekrut volunteer yang ahli di bidangnya, seperti mahasiswa psikologi dan PLB (pendidikan luar biasa) agar dapat meyakinkan para donatur. Selain bertugas meyakinkan donatur, tim psikologi, PLB, dan relawan profesional memiliki peran penting untuk merancang kurikulum yang digunakan dalam pembelajaran penyandang disabilitas. Karena keterbatasan relawan ahli, treatment yang diberikan oleh komunitas seringkali diragukan oleh penyandang disabilitas yang bukan bagian dari paguyuban. Sedangkan dari paguyuban sendiri, karena mereka sudah mengenal komunitas dengan baik, mereka tetap terbuka dan berterima kasih atas bantuan, waktu, tenaga, yang diberikan relawan terlepas fakta bahwa mereka bukan pekerja profesional.
Untuk menyokong jalannya komunitas ini, Riza mengatakan bahwa mereka butuh lebih banyak uluran tangan dari kaum muda. Kelompok yang menjadi target utama dari rekrutmen relawan ini adalah karang taruna, kader kesmas, dan pekerja sosial di setiap kecamatan. Karena hal yang paling mendasar untuk menciptakan ruang inklusif dimulai dari keluarga dan masyarakat sekitar. Riza dkk juga sangat terbuka pada mahasiswa atau orang lain yang ingin bergabung ke dalam komunitas.
Riza menjelaskan, tidak harus memiliki skill khusus untuk bisa membantu teman-teman difabel. Cukup dengan apa yang dimiliki, kita sudah bisa berkontribusi bagi mereka. Yang terpenting adalah niat dan keberanian untuk terjun membersamai mereka. Jika kita mencoba merangkul keberadaan mereka, niscaya kita akan memperoleh hikmah kehidupan yang sangat luar biasa. Namun, ketika kita belum mampu berkontribusi pada mereka, setidaknya jangan membully dan mendiskriminasi. Kita harus mendorong masyarakat untuk mengubah mindset dan menghapus stigmatisasi penyandang disabilitas. Karena kita semua adalah manusia yang setara. (riz)