Kanal24, Malang – Melalui Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM), Kementerian Kelautan dan Perikanan terus medorong program Quality Assurance untuk menjamin kesehatan benih ikan dengan tujuan mendongkrak produktivitas budidaya perikanan di Indonesia.
Quality Assurance ini merujuk pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Kelautan dan Perikanan, serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 19 Tahun 2010 tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan.
Pemerhati Budidaya Perikanan UB, Fani Fariedah, S. Pi, M.P., mengungkapkan bahwa program Quality Assurance atau mendapatkan sertifikat Cara Pembenihan Ikan yang Baik (CPIB) juga diwajibkan bagi pembudidaya ikan di Jawa Timur. Baik untuk unit pembenihan berskala rumah tangga maupun berskala besar.
“Dari situ kita bisa menjamin, melalui metode budidaya yang kita terapkan itu, kita bisa menjamin bahwa benih yang akan kita produksi itu benar-benar berkualitas,” jelasnya saat memberikan keterangan pada Kanal24 (7/10/2022).
Dosen Budidaya Perairan FPIK UB, Fani Fariedah, S. Pi, M.P.
Menurutnya, budidaya ikan di Jawa Timur terus mengalami peningkatan. Pasalnya, Jawa Timur merupakan salah satu sentra benih ikan tawar dan payau terbesar di Indonesia.
“Jawa Timur merupakan penyedia benih di hampir seluruh Indonesia dengan jumlah produksi benih tertinggi dan unit pembenihan bersertifikat terbanyak,” tuturnya.
Fani menambahkan, program tersebut akan berdampak terhadap produktifitas pembudidayaan perikanan di Jawa Timur.
Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya (FPIK UB) ini menjelaskan bahwa ciri benih budidaya perikanan yang dikatakan unggul antara lain asal-usul induk yang jelas, mempunyai laju pertumbuhan yang cepat, dan tidak mudah terserang penyakit.
Menurutnya, apabila benih tidak memenuhi kriteria unggul maka besar kemungkinan mempunyai laju pertumbuhan yang rendah dan sering atau rawan terkena penyakit. Laju pertumbuhan yang rendah akan memakan biaya operasional yang lebih besar yang digunakan untuk pakan. Sedangkan benih yang terkena penyakit biasanya menyebabkan gagal panen sehingga menurunkan produktifitas.
“Ketika benih yang kita budidayakan kemudian terserang penyakit, ada beberapa kemungkinan, pertama pasti akan dilakukan tindakan pengendalian yang tentu akan memakan biaya dan waktu produksi atau akan terjadi gagal panen, yang otomatis akan memakan mengurangi produktifitas dan keuntungan,” terangnya.
Fani megungkapkan untuk mendapatkan sertifikasi CPIB, unit-unit pembenihan ikan harus melewati beberapa prosedur. Unit pembenihan ikan diharuskan mengajukan sertifikasi ke penyuluh setempat yang mempunyai sertifikat Manajer Pengendali Mutu (MPM). Seluruh pemberkasan terkait CPIB akan dibuat oleh MPM. Setelah pembudidaya melengkapi berkas, MPM akan mengajukan berkas ke Direktorat Jendral Perikanan Budidaya. Kemudian, tim auditor akan menilai apakah unit budidaya yang diajukan tersebut lolos CPIB/CBIB atau tidak.
“Pengajuan sertifikasi memerlukan MPM bagi unit yang mengajukan tetapi saat ini jumlah MPM di Jawa Timur masih sngat terbatas sehingga banyak unit pembenihan yg tidak bisa mengajukan CPIB,” ungkapnya. (Din/Sat)