Kanal24, Malang – Media-media nasional belakangan ini sedang diramaikan oleh kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) Lesti Kejora dan Rizky Billar. Mereka merupakan pasangan suami istri yang keduanya bekerja dibidang entertainment. Kasus KDRT pasangan public figure sudah sering kali terjadi dan umumnya menjadi topik panas media hingga menjadi pembicaraan masyarakat. Pemberitaan semacam ini tentu saja menghasilkan macam-macam dampak bagi korban, pelaku, bahkan audiens atau publik.
Menurut dosen ilmu komunikasi FISIP Universitas Brawijaya, Muhammad Irawan Saputra, S.I.Kom., M.I.Kom masih banyak kasus KDRT yang tidak diangkat oleh media. Pemberitaan KDRT baru-baru ini menjadi viral karena terjadi pada public figure. Irawan juga merasa bahwa terdapat ketidak idealan informasi yang disajikan oleh media dilihat dari bagaimana media terlalu fokus mengangkat tema mengenai kehidupan pribadi pasangan suami-istri tersebut yang termasuk sebagai privasi.
“Media bisa berperan memberikan literasi tentang KDRT dengan membawa kasus ini ke gambaran tentang KDRT di masyarakat, dan bagaimana harusnya sikap yang diambil apabila menemui tindak KDRT atau menjadi pelaku KDRT,” ungkapnya.
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UB, Muhammad Irawan Saputra, S.I.Kom., M.I.Kom (Dok.FISIP UB)
Irawan juga mengatakan bahwa pemberitaan dengan framing seperti ini tidak seharusnya mendominasi pemberitaan nasional dikarenakan masih banyak isu-isu di Indonesia yang solusinya belum ditemukan seperti kasus korupsi dan reformasi lembaga kepolisian.
“Idealnya fokus pemberitaan diarahkan pada edukasi tentang KDRT, bukan pada privasi seseorang” jelas Irawan.
Menurutnya, apabila topik semacam ini dikemas secara ideal maka tentu saja akan memunculkan perubahan positif, namun pemberitaan yang oportunis akan mengarahkan ke perubahan negatif untuk korban serta pelaku. Irawan berpendapat bahwa pemberitaan positif akan memandu baik korban serta pelaku kepada sikap yang tepat seperti melapor atau melakukan konsultasi kepada pihak yang tepat. Namun pemberitaan yang buruk akan melahirkan rasa traumatik kepada korban. Hal ini memunculkan kesan seperti pelaku good looking berhak untuk dimaafkan dan pelaku merasa memiliki pembenaran atas kejahatannya. Pemberitaan semacam ini yang masuk kedalam ranah privat seseorang termasuk hal yang negatif bagi Irawan, terlebih ketika berita disertai dengan framing buruk.
“Untuk korban tentunya menambah tekanan mental yang ia rasakan, untuk pelaku apabila framing-nya buruk akan melegitimasi tindak KDRT-nya bisa dimaklumi” lengkap Irawan. Ia juga merasa bahwa pemberitaan seperti ini menggeser perhatian publik dari kasus-kasus lain ke hal yang tidak penting.
Bagi Irawan terdapat alasan mengapa kasus seperti ini sangat direspon oleh masyarakat Indonesia yaitu kasus ini sangat menyangkut sisi emosional baik dari kasusnya yang banyak dialami masyarakat ataupun kasus ini terjadi pada pasangan public figure. (Ars)