KANAL24, Malang – Pusat Studi Pembangunan Desa (PSPD) LPPM Universitas Brawijaya merilis hasil kajian tentang Inovasi Model Penguatan BUM Desa berbasis Potensi dan Sumberdaya Desa. Penelitian dilakukan oleh tim dari Pusat Studi Pembangunan Desa (PSPD) LPPM-UB yang diketuai Dr. Ir. Sugiarto, ST., MT. beranggotakan Dhanny S. Sutopo, S.Sos., M.Si.; Arief B. Nugroho, S.Sos., M.Si. dan Manggala Ismanto, S.Ant., M.A. bersama mahasiswa dan dibantu oleh 4 orang enumerator non dosen.. Data penelitian diambil dari kondisi eksisting perkembangan BUM Desa yang menjadi mitra survei, dengan berbagai problematika yang mereka alami.
Penelitian dilaksanakan dalam rentang waktu 4 bulan mulai Agustus 2022 sampai November 2022. Lokasi penelitian berada di 8 kabupaten dengan total mitra survei 16 BUM Desa di 16 Desa sasaran. Penentuan BUM Desa di desa sasaran berdasarkan pertimbangan representasi geo-kultural kabupaten/kota di Jawa Timur, kategori kelembagaan BUM Desa yang bersifat pemula/rintisan, berkembang dan maju, serta jenis dan karakter unit usaha BUM Desa.
“Beberapa jenis usaha BUM Desa antara lain simpan-pinjam, pengelolaan air baku, usaha wisata, produk unggulan desa, usaha toko dan unit perdagangan,” kata Sugiarto, Minggu (20/11/2022).
Selain data primer yang diperoleh dari wawancara langsung dengan pengurus BUM Desa, tim peneliti juga mendapat supporting data sekunder dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Provinsi Jawa Timur sebagai mitra penelitian. Dari data penelitian dapat diidentifikasi beberapa permasalahan mendasar BUM Desa, yaitu :
Pertama, tidak ada pemahaman yang sama mengenai konsep dasar BUMDesa yang benar-benar sampai kepada masyarakat. Hal ini tidak lepas dari kurangnya pemahaman perangkat desa utamanya Kepala Desa mengenai BUMDesa. Dalam konteks pembangunan desa, perangkat desa lebih mengutamakan menangani permasalahan administrasi dan pertanggungjawaban kegiatan dan program-program yang bersifat top down dari pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah desa kurang menyadari pentingnya BUMDesa sebagai bagian dari pembangunan desa yang seharusnya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dengan semangat kewirausahaan dan kemandirian ekonomi desa.
Kedua, berkaitan dengan kewenangan desa, di mana perangkat desa banyak yang belum memahami sepenuhnya wewenang yang dimiliki desa sesuai dengan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pemahaman tentang asas subsidiaritas dan rekognisi belum sepenuhnya dimanfaatkan sebagai kekuatan desa dalam upaya menggali dan memanfaatkan potensi desa. Kegamangan pemahaman ini menjadikan pemerintah desa masih ragu dalam menjalankan wewenang desa secara penuh. Sehingga, upaya untuk mengembangkan BUMDesa sebagai badan usaha ekonomi yang akan mewadahi pengembangan potensi desa tidak kunjung terwujud.
Ketiga, kurangnya pemahaman atas konsep pembangunan desa yang sudah bergeser dari paradigma pembangunan fisik menuju pembangunan sumberdaya manusia. Di banyak kasus, masih tertanam kuat pemahaman bahwa pembangunan desa adalah pembangunan fisik dan infrastruktur semata. Hal ini dikarenakan program pembangunan fisik lebih mudah terlihat sebagai bentuk kerja nyata pemerintah desa. Konsep pembangunan fisik ini tentunya berbanding terbalik dengan konsep pembangunan sumberdaya manusia yang sering diterjemahkan dengan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang hasilnya tidak terlihat secara fisik, namun sebenarnya merupakan modal penting dalam mewujudkan kekuatan dan kemandirian desa. Masih lemahnya pembangunan sumber daya manusia pada akhirnya membuat kapasitas kelembagaan dan kewirausahaan desa seperti BUMDesa tidak mampu berkembang.
Keempat, permasalahan keterbukaan informasi publik di Desa, di mana pusat informasi penting masih berada di antara elite desa dan belum sepenuhnya terbuka untuk semua masyarakat. Isu penting terkait rancangan pembangunan dan program pembangunan desa sering kali hanya diketahui oleh sebagian orang atau elite desa saja. Kondisi ini menjadikan program pembangunan desa hanya diisi atau diikuti oleh orang-orang tertentu saja, termasuk kepengurusan BUM Desa juga diisi oleh orang-orang pilihan kepala desa atau bahkan keluarganya sendiri. BUMDesa tidak diisi oleh orang-orang yang mempunyai kompetensi yang cukup, yang dampaknya juga menghambat perkembangan BUMDesa. Maka tidak heran jika BUMDesa yang dijalankan dengan pola seperti ini, tidak mampu berkembang bahkan mati suri karena dalam proses usaha tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat sebagai bagian dari modal sosial dalam pengembangan dan pengelolaan BUMDesa.
Kelima, adanya priaku koruptif dari pengurus BUMDesa. Meskipun bersifat kasuistis di beberapa BUMDesa, namun kenyataannya perilaku ini menjadi hambatan pengembangan BUMDesa. “Modal sebelumnya yang diberikan oleh pemerintah desa ada di pengurus lama dan tidak menjadi apa-apa…” adalah lontaran kalimat yang sering ditemukan di berbagai kasus BUM Desa. Perilaku koruptif ini akan selalu menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah desa dan masyarakat.
Keenam, gagalnya kepengurusan BUMDesa di masa lalu akan menjadi trauma kegagalan dari kepala desa atau perangkat desa yang menjabat setelahnya. Trauma kegagalan ini dapat menghambat pengembangan BUMDesa meskipun jabatan kepala desa telah berganti. Di sisi lain kepengurusan BUMDesa lama yang belum atau sulit diganti meskipun kinerjanya wanprestasi. Ini pula yang menjadi faktor penghambat signifikan dalam pengembangan BUM Desa.
Ketujuh, berkenaan dengan pola pikir dan pemahaman pengelola BUM Desa dan masyarakat, yang meyakini bahwa anggaran yang dikelola BUM Desa merupakan dana hibah pemerintah yang tidak harus dikembalikan, bukanya memahami bahwa anggaran tersebut merupakan modal usaha desa untuk mendukung kegiatan pembangunan desa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemahaman yang demikian menjadikan kurang adanya rasa tanggung jawab untuk membesarkan dan mengembangkan BUM Desa sebagai kelembagaan ekonomi desa, layaknya perusahaan yang profit oriented, dimana BUM Desa harus memiliki tujuan keuntungan untuk penguatan kemandirian ekonomi desa.
Kedelapan, merupakan hal yang umum berkenaan dengan rendahnya kemampuan manajerial dan kepengurusan BUM Desa. Tidak dapat dipungkiri bahwa tidak mudah untuk mendapatkan seseorang yang memiliki kemampuan manajerial yang bagus dalam pengelolaan usaha yang mau menjadi pengurus BUM Desa. Ketika sulit menemukan figur dengan kemampuan yang tepat, maka terpilihlah orang dengan kapasitas yang seadanya yang pada akhirnya berpotensi membawa BUMDesa semakin terpuruk.
Kesembilan, dalam perkembangannya BUM Desa belum mampu menarik generasi muda desa untuk terlibat dalam kegiatan BUM Desa. Hal ini diperparah dengan keengganan pemerintah desa melibatkan para generasi milenial dalam mengembangkan BUM Desa. Pemerintah Desa belum berani meyakinkan generasi muda bahwa BUM Desa merupakan harapan yang dapat mereka manfaatkan guna mencapai kesejahteraan bagi dirinya dan bagi kesejahteraan masyarakat. Salah satu faktor ketidaktertarikan generasi muda terhadap BUM Desa adalah kelembagaan ini masih dikelola secara konvensional yang kurang adaptif terhadap perkembangan jaman dan teknologi.
Upaya mengatasi masalah tersebut sebenarnya sudah dilakukan oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Provinsi Jawa Timur selama beberapa tahun terakhir dengan memberikan perhatian khusus berupa program pengembangan BUMDesa, misalnya melalui Program Klinik BUMDesa dan juga program-program ungkitan serta program penghargaan yang disertai bentuk Bantuan Keuangan Khusus (BKK) bagi beberapa BUMDesa di Jawa Timur. Namun tampaknya kegiatan tersebut masih belum mampu mempercepat perkembangan perekonomian desa. Hal ini dapat tergambarkan melalui potret perkembangan BUMDesa di tahun 2021 di mana dari 6.100 BUM Desa di Jawa Timur, hanya 537 BUMDesa atau 12 % yang berstatus maju (DPMD Provinsi Jawa Timur, 2021). Disamping itu, tidak sedikit BUMDesa yang ada di Jawa Timur dalam mengembangkan unit usahanya cenderung bersifat instan dan kurang terfokus pada potensi dan sumberdaya desa yang dimiliki. Sebagai gambarannya adalah mayoritas unit usaha yang dikembangkan oleh BUMDesa masih berkutat pada usaha simpan-pinjam dan sangat sedikit BUMDesa yang memiliki kemampuan ekspansif di luar simpan-pinjam dalam mengembangkan unit usahanya. Dari kondisi ini tentunya akan berimbas pada upaya percepatan pembangunan desa, mengingat peran penting BUMDesa adalah upaya pemberdayaan ekonomi desa melalui potensi dan sumberdaya desa yang dimiliki.(sdk)