Kanal24, Malang – Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja diterbitkan di penghujung 2022. Aturan yang ditandatangani pada 30 Desember 2022 itu, menjadi pengganti UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD menjelaskan, penerbitan Perppu 2/2022 ini murni karena alasan mendesak sebagaimana putusan MK Nomor 138/PUU/VII/2009. Setidaknya ada tiga alasan penerbitan Perppu ini, di antaranya: mendesak, kekosongan hukum, dan upaya memberikan kepastian hukum.
Pakar Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Dr. Aan Eko Widiarto, S.H. M.Hum. menilai bahwa kemunculan Perppu justru bertentangan dengan putusan MK terhadap UU Cipta Kerja.
“Muncul Perppu ini pastinya untuk mengisi ketidakpastian hukum,” ujar Aan saat dihubungi oleh Tim Kanal24. Menurutnya, selama 2 tahun ke belakang, terjadi inkonstitusional. Pemerintah tidak bisa melakukan tindakan ataupun kebijakan strategis. “Tentunya hal ini menjadi hambatan,” katanya.
Jika merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi, Aan menilai hal ini tidak tepat dilakukan. Ia menilai bahwa MK meminta untuk memperbaiki Undang-Undang No. 11 tentang Cipta Kerja dari sisi aspek formalnya.
Menurutnya, jika ditinjau dari aspek formil, Perppu ini dibuat secara tiba-tiba. Proses partisipasi masyarakat yang tidak didengar dalam rapat pada waktu pembentukan Perppu Cipta kerja.
Dalam hal ini, Aan mengatakan bahwa Perppu ini harus dilakukan perbaikan. “Perbaikannya perlu membuat undang-undang yang mengakomodasi metode meaningful participation,” jelasnya. Tentunya hal ini memberikan masyarakat hak untuk diberi informasi, hak untuk memberikan pendapat, hak untuk diberi pertimbangan atas pendapatnya, dan hak untuk diberi penjelasan hanya itu diterima atau tidak.
Aan mengatakan bahwa masyarakat saat ini sedang terkaget-kaget dengan adanya Perppu ini. Ia menyayangkan dengan tidak adanya public hearing, mempertimbangkan pendapat dan hak masyarakat, serta menjelaskannya kepada masyarakat.
Selanjutnya menurut Aan ialah secara formil. Menurutnya pemerintah harus memperbaiki formatnya terlebih dahulu. “Dulu karena formatnya menggunakan omnibus, format ini belum diatur di dalam undang-undang pembentukan peraturan undang-undangan. Nah, dengan adanya UU No. 13 Tahun 2022 tentang perubahan undang-undang P3, akhirnya sudah diatur,” jelas Aan.
Akan tetapi, menurutnya proses partisipasi masyarakat dalam pembentukan Cipta kerja ini yang tidak dilakukan pemerintah, sehingga tidak tepat kalau Perppu ini menindaklanjuti putusan MK.
Aan juga menambahkan bahwa masyarakat menolak adanya Perppu ini menjadi hal yang wajar. Mereka tidak dilibatkan untuk bicara dan menyampaikan pendapatnya.
“MK itu sudah jelas dalam putusannya, Putusan MK No. 91 tahun 2020, menyebutkan bahwasanya bukan hanya meminta persetujuan DPR, tetapi masyarakat,” tutur Aan.
Menurutnya, definisi masyarakat di situ ialah orang yang terkait dengan materi tersebut atau orang yang terkena dampak dengan materi yang diatur itu.” Masyarakat ini seharus diajak berbicara dan didengarkan pendapatnya. Jadi tidak hanya cukup DPR saja,” ujar Aan.
Ia juga menambahkan seharusnya DPR menolak Perppu ini sehingga tidak menjadi sebuah Undang-Undang. “Karena Perppu ini harus ada syarat persetujuan DPR dalam masa sidang berikutnya, jadi seharusnya DPR menolak juga sehingga Perppu ini tidak jadi UU,” jelasnya.
Aan mengatakan bahwa pemerintah tak perlu lagi mengulang perbuatan membuat Perppu secara mendadak. Ia percaya bahwa masyarakat telah memahami akar permasalahan dari Perppu ini. Hal ini tentunya karena proses pembuatan Perppu Cipta Kerja ini mengalami cacat prosedur. (raf/din)