Kanal24, Malang – Dalam kekhawatiran dunia menghadapi resesi, secara teknikal, resesi tidak terjadi di Indonesia tetapi terjadi di negara-negara dengan ekonomi besar seperti Amerika dan Eropa Timur. Hal ini disampaikan oleh Dosen Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Brawijaya (UB), Detha Alfrian Fajri, SAB., MM. Menurutnya, meski Indonesia tidak mengalami resesi, Indonesia tetap sedikit terdampak dan Indonesia perlu melakukan penyesuaian bisnis model.
“Indonesia terdampak, cuma nggak banyak. Jadi relatif dan Indonesia tidak begitu coupling dengan ekonomi global. Sehingga, kalau kemudian ada resesi di sebelah sana, kita nggak terlalu terdampak,” kata Detha.
Bahkan harga komoditas diprediksi naik. Namun, justru di Indonesia juga semakin baik dampaknya ke masyarakat, terutama untuk industri-industri yang produknya dapat diekspor ke negara-negara yang terdampak resesi. Sehingga, demand mereka rendah. Jika, demand rendah, maka tidak banyak order ke negara Indonesia. Maka, dapat disimpulkan jika dampak yang dialami oleh Indonesia adalah demand ekspor di Indonesia rendah. Sehingga, hal ini mengurangi ekspor Indonesia dan neraca perdagangan Indonesia terpengaruh.
Menurut Detha, resesi terjadi di luar, kemudian cost of fund meninggi, maka, investor juga lebih ketat dalam mendeliver likuiditasnya ke negara-negara berkembang. Jika bicara bisnis model yang memiliki definisi sederhana, yaitu the way the company mix money. Maka, bisnis model perlu disesuaikan kembali.
Sebagai dosen FIA UB, Detha Fajri melihat bahwa ada 3 bisnis model, yaitu marketplace, transactional business, dan industri software. Ketiga sektor ini selain bertahan juga diyakini dapat tumbuh seiring dengan semakin maraknya penggunaan online atau daring dalam berbagai bidang.
“Bisnis model yang dekat dengan transaksi. Contohnya, bisnis e-wallet atau dompet digital. Kan dekat sekali dengan transaksi, kita mudah sekali untuk ngambil potongan yang sebenarnya marketplace juga kayak gitu, yang dekat sekali dengan transaksi. Karena marketplace menghubungkan antara buyer dengan seller gitu,” kata Detha. Oleh karena itu, bisnis model marketplace dan transactional business sangat dekat dengan transaksi.
Kemudian bisnis model dalam industri software juga bertahan dan memiliki porsi besar. Karena software ini recurring income yang berarti berulang dan sifatnya tahunan. Contohnya yang diambil Detha Fajri adalah Moka.
Moka merupakan perusahaan rintisan Software as a Service (SaaS) Indonesia yang bergerak di ranah aplikasi kasir digital. Dilengkapi dengan sistem Point-of-Sale multi platform berbasis cloud yang membantu kelola bisnis dan memperluas akses untuk menjangkau lebih banyak pelanggan.
“Jadi, bisnis model perlu disesuaikan. Tinggal kemudian mencari bisnis model yang tepat antara niche, market, dengan core product dari startup itu sendiri, kira-kira begitu,” tutup Detha Fajri.(sdk/nid)